12.17 AM, sudut layar leptopku berkedip ketika sebuah notifikasi menyembul seolah memaksaku segera mengisi daya. Kembali melirik sudut kanan bawah, ternyata sudah lewat tengah malam, sedang aku masih membuka beberapa Peraturan Daerah (Perda) terkait perlindungan dan pemenuhan hak disabilitas. Membandingkan satu Perda dengan Perda yang lain. Sudah hampir dua semester ini aku lebih banyak berkutat dengan kebijakan, di kelas-kelas formal jalur zoom, juga di kelas alternatif Think Policy Bootcamp yang tentu saja via zoom juga. Semuanya membuat kosakata istirahat harus selalu ditunda. Aku putuskan untuk merayakan saja.
Memasuki pekan Ujian Tengah Semester, atmosfir urusan kuliah mulai intens. Ditambah aku memutuskan mengambil jadwal praktek di hari minggu per April ini. Lengkap sudah tidak ada warna merah dalam 7/7 kehidupanku. Sekali lagi, aku putuskan untuk merayakan saja.
Mari rayakan hari-hari tanpa libur yang berarti. Hari-hari yang rusuh berangkat pagi ke tempat kerja sedang mata masih rapet sisa begadang semalaman. Merayakan jam kosong di klinik dengan tidur di atas matras pas bangun sakit badan. Merayakan kuyup karena pun udah pakai jas hujan, angin di Ciputat dan Pamulang tetap ga pandang bulu. Merayakan berbagai rasa sakit dan ga nyaman, merayakan hal-hal kecil yang membahagiakan.
April, bulan merayakan.
pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi tapi dalam bait-bait sajak ini kau takkan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti suaraku tak terdengar lagi tapi di antara larik-larik sajak ini kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti impianku pun tak dikenal lagi namun di sela-sela huruf sajak ini kau takkan letih-letihnya kucari
Naya adalah orang yang hobinya berbuat baik sama orang lain. Celetukan banyol yang sebenarnya serius selalu aku lontarkan ketika ketemu Naya adalah perkara “aing ngiri siah sama mane, mane temennya banyak”. Meskipun aku ga pernah benar-benar mengukur secara kuantitas. Tapi sebagaimana Naya dikenal oleh banyak orang, dia memang hobi ngumpulin temen. Tiap tikungan, tongkrongan, ada temennya Naya. Becanda, tapi emang ini berlebihan.
Naya temen aku yang hobinya makan
Selama kurang lebih 16 tahun kami berteman, naik turun kehidupan kami masing-masing udah khatam satu sama lain. Salah satu yang aku syukuri adalah, dalam pertemanan kami, kami ga pernah marahan, ngambekan, bertengkar, itu ga pernah ada di kamus kami. Mungkin kami berdua sudah sepakat tanpa hitam di atas putih, bahwa senyelekit apapun kritik, bisa dilontarkan masing-masing kami. Misalnya, ketika aku sungguh sangat bodoh dalam hal mengingat sesuatu, melakukan hal-hal simpel, Naya bisa dengan enteng bilang bahwa aku goblok. Tentu saja ga ada persaan marah. Karena emang iya hahahaha
Sebelum aku bisa bawa kendaraan sendiri, Naya adalah supir pribadiku. Di Bandung, Di Jakarta. Tentu saja tidak cuma-cuma, karena aku udah pasti jadi sugar mommy nya Naya. Ada satu waktu kerjaanku hanya bayarin bill nya si Naya, tapi ada satu waktu Naya sugih banget dan jadi sugar mommy nya Wina. Begitulah kami, temenan sejak dari urusan finansial hahahaha bengek.
Naya, segimanapun mulutnya perlu sekolah lagi, sekolah tata krama versi norma sosial, versiku tentu saja ga perlu. Aku bisa bersaksi, bahwa jauh di dalam sana, dia punya hati yang sangat hangat. Sangat hangat. Dia peduli banget sama orang lain. Dia bisa punya begitu banyak teman dengan kualitas pertemanan yang terjaga. Aku gatau kenapa bisa? Coba tanya Naya soal tips and tricks #menjaditemansemuaorang
Pernah pada suatu periode, aku mengalami kemunduran yang sangat dalam hidup. Aku sakit secara fisik dan mental. Aku kehilangan 7 kilo berat badan dalam satu waktu. Banyak, banyak teman-teman di sekelilingku turut membantu pemulihanku. Naya salah satunya yang berjasa besar membantuku pulih dari kondisi yang berat saat itu. Aku mengisolasi diri. Iya gengs, aku yang cerah ceria penuh energi ini pernah menghadapi fase seterpuruk itu. Depresi. Naya, dengan kehangatan hatinya, nyamperin aku ke Pamulang. Lebih dari seminggu nemenin di Pamulang, padahal dia tinggal dan bekerja di Bandung. Rela nemenin aku di sini. Dengerin aku yang tiap sebelum tidur isinya cuman nangis dan sambat. Sampe dia berhasil bawa aku keluar dari kosan, ngajak makan, jajan, dan akhirnya aku pulih. Naya, nuhun banget soal ini, urang mungkin ga pernah bilang, tapi kalo ga ada maneh saat itu, Wina hari ini teuing apa bentukannya. Remeh rangginang cigana. Karena Allah, kirim Naya untuk aku pulih, aku sangat sangat bersyukur untuk itu.
Cape banget, mirror neuron tiap kali pake baju, tydac perlu janjian niscaya HAH HOH HAH HOH NAHA BAJU KOK SAMA
Nay, aku tau apa yang jadi kekhawatiran kamu hari ini. Aku sangat mengerti. Tapi ini bukan ajakan untuk melupakan kekhawatiran itu. Aku juga ga akan bilang kalo ini mudah, atau ini bukan sesuatu yang harus dipikirin, atau bilang jangan lebay. Engga. Aku ga akan bilang hal-hal semacam itu. Karena aku tau, perasaan-perasaan, rasa takut, kekhawatiran yang tengah kamu hadapi adalah valid. Kamu sangat berhak merasakan kesedihan itu. Gapapa, sedih aja sebanyak yang maneh mau. Marah aja semau yang maneh bisa. Aku seperti biasa ada di sekitar, yang bisa kapan aja bilang “hayuk” tanpa mikir dua kali.
Semoga kita segera tobat dari FOMO terhadap kehidupan duniawi, dan selalu berusaha untuk urusaan ukhrowi ~~~
Selamat ulang tahun Naya, setiap harinya kita ga akan pernah menjadi orang yang sama. Kita berdua akan selalu berubah, dengan peran baru, dengan tugas dan tujuan baru. Tapi kita berdua sadar itu, bahwa teman kita akan selalu bertumbuh, diri kita juga akan selalu bertumbuh. Yang perlu selalu kita ingat, dan ini aku dapatkan selama aku temenan sama kamu adalah: selalu jadi orang baik, selalu jadi teman baik.
Kita hadapi sama-sama periode akhir 20an ini yak Nay, tabungan kita masih banyak nih buat dipake makan enak dan tidur nyenyak. Doa buat Naya akan aku panjatkan dalam privat. Makasih Naya udah mau (terus) jadi temen baikku. Makasih Naya udah ngajarin salah satu value hidup yang akan aku pake terus dalam hidup, dalam berbagai peran yang aku punya; jadi baik.
Pamulang, 27 Juni 2023
Aku sertakan, Hindia, untuk Naya
Ibu Lastri adalah asisten rumah tangga di kosan yang aku tempati di Pamulang. Kurang lebih dua bulan aku masuk sebagai anak kost di rumah ini. Gatau kenapa, aku selalu merasa lebih nyaman ketika ngekos serumah dengan induk semangku, bisa di bilang lantai bawah untuk kami anak kost, dan lantai atas untuk tuan rumah. Ibu kost tinggal sendiri karena suami dan anak-anaknya tinggal di Inggris, dan terpaksa karena covid-19 terjebak bersama kami anak-anak kost plus Bu Lastri yang sudah bekerja hampir 13 tahun bersama. Tapi cerita ini bukan tentang induk semangku, tapi tentang Bu Las.
Di antara tiga orang anak kost, akulah yang paling sering ada di rumah. Selain karena pekerjaanku yang paruh waktu, aku juga kembali berstatus mahasiswa yang kerjaannya kuliah daring di kosan. Mas Salman kerja pagi pulang malem, begitu juga Elya kerja pagi pulang malam. Bisa dibilang dua bulan ini Bu Las adalah 24/7 ku di Pamulang.
Dua bulan adalah waktu yang cukup untuk mendengarkan kisah hidup seorang Lastri, dari versi muda hingga saat ini berusia lebih dari 60 tahun. Aku selalu bersemangat mendengar kisah hidupnya yang telah bekerja di banyak kota, membantu banyak rumah tangga, memasak banyak masakan sesuai selera majikan. Karena itu, masakan Bu Las wuenakk banget! Masak apapun bisa! rasanya ga ada dua!
Suatu hari aku sakit, ga bisa keluar kosan, Bu Las dengan insting dan pengalaman seorang wanita di usia senja, bisa tau apa yang aku rasakan. Beliau sibuk membuat bubur, membuat ramuan, bahkan nyari koin buat kerokan. Serius! Aku dirawat dengan baik selama sakit. Setiap kali lelah dan penat dengan segala rutinitas dan kesibukan, aku akan mengetuk kamar Bu Las, izin minta baring atau tidur di kamar Bu Las. Kamar yang kecil, penuh dengan barang-barang yang entah kenapa tidak di buang saja, yang harumnya mengingatkanku pada harum mamah abeh, nenekku. Aku akan meringkuk di kasur itu, bisa langsung terpejam dengan cepat, dengan Bu Las di sampingku menonton sinetron di TV. Setiap aku pulang ke Pamulang, aku selalu ingin memanggil Bu Las lebih dulu. Tanda cintaku di Pamulang, ternyata Bu Lastri. Mungkin aku tidak lama di Pamulang. Waktu singkat ini tidak menumbuhkan seribu teman, tapi satu Bu Lastri cukup ngasih seribu cerita.
Bu Lastri bikin bubur kacang ijo pake daun pandan, wangi banget. Dia anter semanguk bubur kacang ijo ke kamarku. Sedang aku sibuk dengan banyak sekali laporan assessment anak-anak di klinik. Casual aku putar sambil mandang bubur kacang ijo lekat-lekat, lamat-lamat. Ah. Aku masih harus mensyukuri hari ini. Hamdallah bubur kacang ijonya enak banget.
Ada masanya ketika mengucapkan terima kasih sulit sekali untuk dilakukan. Atau ketika meminta maaf jadi pekerjaan yang melelahkan. Keduanya selalu tidak tepat untuk disampaikan. Hingga pada akhirnya, terima kasih dan maaf kehilangan kekuatannya. Manusia kehilangan ruang untuk dialog.
Aku adalah manusia yang ga punya masalah ketika harus makan sendirian. Engga inget pasti sejak kapan prinsip ini aku pegang. Bagiku, makan ya makan. Proses mengunyah dan menelan makanan, sampai akhirnya kenyang dan ga lagi lapar. Perkara ada temennya atau engga, bagiku itu di luar proses makan. Bukan berarti aku tidak menyukai untuk makan bersama orang lain. Tentu saja senang bisa berbagi ruang saat makan. Tapi makan sendirian pun tidak mengurangi perasaan senangku ketika ketemu makanan.
Singkatnya, hari ini aku memutuskan makan siang di salah satu rumah makan padang yang sudah sering direkomendasikan teman-temanku di Pamulang. Kebetulan letaknya berdekatan dengan salah satu cafe yang akan aku kunjungi sore ini. Perut kecil yang kayanya ususnya panjang ini kurang kenyang jika hanya makan berat di cafe hehe. Makanya mampir dulu ke nasi padang. Seperti biasa aku hanya kaosan dan gendong ransel. Setelan pindah nugas dari kosan ke cafe, tapi males dandan. Seperti biasa aku pesan makan.
Setelah aku nemu meja kosong di pojokan, aku memutuskan menunggu pesanan sambil nonton Laal Singh Chaddha di Netflix, dengan pemeran utama Aamir Khan (favoritku! hampir semua filmnya aku tonton) dan Kareena Kapoor, aktris yang sudah muncul di tv sejak aku kecil.
Anw, pelayannya dateng bawa piring isi ayam bakar. Aslinya lebih banyak dibanding di foto, karena nasinya numpuk dan mleber. Tapi apa yang pelayan itu katakan sesampainya dia di mejaku?
“Kok makan sendirian Mbak?”
Aku balas hanya dengan tersenyum. Tak lama dia segera kembali bekerja dan meninggalkan mejaku. Lantas aku hanya bisa tersenyum. Jika aku hitung dengan teliti, berapa puluh kali aku dapat pertanyaan bernada sama. Mungkin bisa aku hitung sejak 2013, ketika pindah untuk berkuliah di Depok. Aku sudah memulai praktik makan sendirian. Hasilnya pasti banyak. Mereka yang bertanya demikian engga kenal tempat. Di warung padang, pecel lele, tempat ngopi mainstream, tempat ngopi indie, bahkan warung bakso favoritku di Garut, bertanya sampai dua kali untuk memastikan apakah aku makan sendiri dan apakah ga ada temen yang nyusul. Selama ini jawabanku beda-beda, kadang aku tanggapi serius, kadang aku becandain, kadang kaya hari ini cuman aku senyumin. Kenapa manusia begitu penasaran dengan perkara temen makan orang lain? Padahal yang kenyang perutku. Pertanyaan model begini ga akan bikin kenyang rasa penasaran atau basa basimu. Tentu saja jika di lain hari aku masih dapet pertanyaan begini, aku masih akan senyum-senyum sendiri :)
Tapi kurasa semua orang belum tentu memiliki tujuan hidup. Aku juga tidak punya. Aku hanya bersenang-senang – Lee Yeo Reum (Summer Strike Eps. 5)
pict: https://pin.it/h4YliKi
Tak perlu punya tujuan hidup, bersenang-senanglah. Aku sejujurnya setuju dengan ini, tapi aku tidak mengamalkan. Aku mungkin punya fleksibilitas dalam melihat opini tersebut. Saat aku mendengar pendapat Yeo-Reum, aku tidak ingin berhenti memahami seperti yang dilakukan Jo Ji-Yeoung yang berakhir pada prasangka dan rasa benci ketika seseorang tidak sesuai dengan nilai dan standar hidupnya. Tentu saja sebagai penonton, aku sudah mengikuti empat episode perjalanan hidup Yeo-Reum untuk ia sampai pada kesimpulan soal hidup ga perlu punya tujuan. Ini yang biasanya hilang dalam komunikasi di lingkungan sosialku. Mengambil kesempatan untuk sejenak diam, netral, dan berempatik. Lantas kemudian berani mengambil sikap bahkan tindakan apapun setelahnya, itu hak semua orang.
pict: https://pin.it/2RV6RO6
Bagaimana semua orang akan tahu, jika Yeo-Reum telah menghadapi tahun-tahun yang memuakkan dengan selalu menyesuaikan diri dengan standar lingkungan, standar orang lain. Selalu bertoleransi dengan lingkungan kerja yang toxic dengan bos mesum. Gagal dalam hubungan yang telah dijalani enam tahun lamanya. Hingga kematian mendadak ibunya yang juga semakin membuat ia lelah menjalani hidup. Hingga pada satu titik ia memutuskan berhenti berlari mengejar kereta pagi untuk berangkat kerja juga berhenti berlari mengejar kereta sore sepulang kerja. Ia memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa. Siapa yang akan peduli dengan cerita panjang di belakang opini dia soal hidup senang-senang doang ga perlu tujuan?
Jika seseorang memutuskan untuk hidup dengan cara dia, maka aku akan menghormati itu. Menyadari bahwa ia tengah menjadi seorang manusia kompleks. Jika aku pun memutuskan untuk menjalani hidup seperti yang ingin aku jalani, maka begitulah adanya. Setidaknya saat ini, aku memutuskan untuk memiliki tujuan hidup dan ingin bersenang-senang menjalani prosesnya. Jika suatu hari ini berubah. Maka berubahlah. Tidak apa-apa.
Nay! Makasih udah jadi Naya yang aku kenal, jadi teman seneng dan susah. Bener-bener definisi temen yang ada pas seneng, dan nemenin pas susah. Sebulan ke belakang aku kehilangan semangat, kebahagiaan, keceriaan. Mereka ilang gitu aja Nay, tiba-tiba aja bisa sedih banget dan nangis di ranjang sampe sesek. Dua minggu tanpa ngerasa lapar, ajaib. Dua minggu susah tidur dan bangun cuman karena muntah-muntah. Iya, itu aku ketika dunia tiba-tiba ga seimbang. Lebay. Tapi emang begitulah adanya. Aku kehilangan banyak hal, termasuk berat badan yang sangat aku inginkan. Lalu Naya hadir, nemenin, meskipun bukan dengan pelukan tapi dengan sumpah serapah dan caci maki hahaha Keliatan jelas kamu pengen bilang kenapa aku nyiksa diri, kenapa aku bodoh banget, tapi kamu ga bilang apa-apa. Nyerahin sepenuhnya sama aku, soal apa yang aku pikirin, soal apa yang aku rasain. Kamu ga nyaranin apapun, kamu cuman nyamperin dan tinggal di samping aku sampe aku ngerasa lebih baik. Pas Naya balik ke Bandung, rasanya berat banget tau! Terus tiba-tiba banyak paket dateng ke kosan. Kamu ngirim hal-hal yang aku butuhin, dan tau banget kalo aku ga akan peduli sama hal-hal itu. Bisa jadi karena aku terlalu cuek, atau terlalu bokek. Kamu liat aku selalu kuliah daring atau terapi virtual dengan megang hape berjam-jam. Aku tau aku butuh folding bracket, tapi aku selalu lupa buat beli. Maklum sibuk. Aku sering kelaperan tapi mager beli bahkan mager nyemil. Aku baru nyoba pake softlense, dan pasti ga peduli sama penampilan. Lalu kamu kirim semua yang aku butuhin itu. Meskipun kamu ga ngirim kaos Barasuara yang aku pengen. Kureng Nay! Perhatian kecil yang murah tapi berharga banget. Postingan ini kalo dibaca lagi di kemudian hari, kita bakal ngakak dan ngenang ini sebagai masa-masa muda yang menyakitkan sekaligus menyenangkan. Aku mungkin kehilangan banyak hal, tapi satu yang jelas, aku mensyukuri satu hal. Aku punya Naya yang akan selalu jadi temen aku. Yang mulutnya lemes banget tapi hatinya hangat. Pamulang, 30/11/21
No matter how much I try, no matter how much I want it, some story just don't have a happy ending
Gila sih, mengenali dan memahami perasaan itu proses panjang banget. Kadang melelahkan. Tapi ya manusia dianugerahi komponen macam ini. Aku juga dibekali ilmu untuk memahami perasaan anak-anakku di klinik. Tapi pada akhirnya harus mengenali dan memahami perasaan sendiri juga jadi sebuah upaya yang sulitnya bukan main. Yuk bisa Wina bisa. Pelan-pelan aja.