I discovered my love for cycling when I met Dargo. At the time, he was just someone I knew, and I never imagined I would end up marrying him. Getting to know Dargo also meant getting to know cycling, a passion he had pursued regularly for several years before we got married. I began watching European cyclists glide beautifully through green mountains and snowy hills. Naturally, I was captivated and wondered if I could ever do something like that.
After we got married, I decided to share a hobby with Dargo and give cycling a try. I chose it for myself, not because my husband pressured me—Dargo has never forced me into anything.
On December 26, 2023, I bought a Twitter Cyclon Pro Disc R7000-22S bike in black and red. After discussing it with my husband, we decided this would be my first bike. The main factor was its affordability at the time, combined with its full carbon frame and Shimano 105 groupset. Despite one drawback—the bike was still a bit too large for me—it was the best option for us.
In early January 2024, I began my journey as an amateur cyclist. I started getting used to my new bike, beginning with my first 50 kilometers, then 70 kilometers, and eventually my first 100 kilometers. I still vividly remember my first 100 kilometers; I took the route from South Tangerang to Bogor, riding back and forth from home. Anjay rada gelo!
Eight months after buying my road bike, I decided to participate in a race in July 2024. I joined the Tour de Ambarukkmo in Yogyakarta in the regular category, covering 128 kilometers. Of course, with various adjustments to make the bike fit my body. It was an exhilarating experience, especially since I typically only cycled once a week on weekends. But I prepared as best as I could, training enough and learning to understand my body. In the end, I completed the Tour de Ambarukkmo. Though it was exhausting, I was filled with pride—a feeling of abundance.
Cycling, like running, is more than just a sport for me. These activities are my way of connecting with my body and the world around me. When I cycle or run, I focus on feeling my body, muscles, breath, and heartbeat. I learn to recognize pain and fatigue. I become fully aware of my body, knowing when to stop and when I can keep going. When cycling, I often clear my mind. I never listen to music while riding; instead, I prefer to hear the rhythm of my breath, the sounds around me, and the wind rushing against my body as I descend hills or climb slopes.
I can’t recall exactly when I fell in love with cycling, but I’ve come to realize that it has become one of my most meaningful routines. When I miss a ride, something feels off and different. Perhaps, at this point, cycling has become an essential part of who I am.
Tangerang, 23 Agustus 2024
Selamat Hari Perempuan Internasional! Biasanya aku merayakan #IWD tiap tahunnya dengan menuliskan refleksi singkat tentang pengalaman, harapan atau kegundahan yang tengah aku rasakan saat itu. Tapi kali ini aku menyempatkan diri untuk duduk diantara Bab-Bab tesisku yang tak kunjung usai dengan menuliskan refleksi IWD tahun ini. Tulisan ini ditujukan untuk diriku. Ada beberapa hal yang ingin aku ingatkan pada Wina di dalam sana.
Merasa Nyaman dengan Diri, Tubuh serta Tektekbengeknya: Sudah sejak kecil aku mendengar standar kecantikan dan tubuh seorang perempuan diperbincangkan. Sejak SD, aku familiar dengan lagu Panon Hideung. Betapa gambaran tentang perempuan cantik yang membuat laki-laki snewen adalah mereka yang berhidung mancung. Lantas hidung pesek ini bagaimana? Tentu saja saat itu aku merasa tercoret dari katagori cantik untuk ukuran perempuan. Namun, seiring berjalannya waktu, aku bertemu dengan banyak sekali perempuan di luar sana. Hingga akhirnya aku menemukan bahwa kecantikan itu universal. Standar kecantikan yang ada berujung pada objektifikasi perempuan. Standar kecantikan hanya buah dari konstruksi yang dibangun media. Etc etc wasweswos. Pikiran soal menjadi cantik di depan orang lain juga terkoreksi dengan sendirinya. Bahwa menjadi cantik adalah untuk diriku sendiri. Saat ini, aku bisa dengan bangga mengatakan di depan cermin bahwa aku sangat menyukai porsi tubuhku yang petite. Gadis semeter setengah yang juga menyukai bentuk hidungnya yang pesek. Menerima bekas luka di pipi kanan yang sulit ditutupi bedak. Menerima secara terbuka luka batin yang sempat perih dan terus tinggal di dalam sana. Menyukai bagaimana aku berpakaian. Mencintai bagaimana aku berbicara dan berpendapat. Aku nyaman dengan tubuh, diri dan segala tektekbengek yang mengikutinya. Seperti sakit pinggang di hari pertama menjelang menstruasi yang nyerinya minta ampun. Aku pun memeluk itu sebagai bagian dari diriku hari ini.
Menerima Bahwa Tidak Semua Perempuan Memiliki Pilihan: Sungguh kenyataan ini sangat menyakitkan. Aku adalah seseorang dengan privilege tumbuh dari keluarga dengan ekonomi menengah ke atas. Bisa mengakses pendidikan dan kesehatan dengan memadai. Hidup nyaman tanpa harus berpikir kebingungan besok makan apa. Bahkan masih bisa bermimpi tentang masa depan. Aku sampai pada kesadaran bahwa dunia tidak berputar hanya di sekelilingku. Ada yang lebih besar dariku. Ada banyak perempuan lain yang justru hidup jauh lebih sulit dari kehidupan yang aku jalani. Kesulitan yang dialami bukan karena kebodohan, kemalasan, atau hal-hal lain. Banyak diantaranya karena permasalahan struktural dan sistemik yang bangsat. Menyakitkan memang melihat salah satu murid perempuanku di pelosok sana memilih untuk berhenti sekolah dan menikah di usia yang masih sangat belia. Mendengar seorang ibu yang rela menjadi korban KDRT demi mempertahankan keluarga dan anaknya. Seorang permepuan yang turut menjadi tulang punggung ekonomi keluarga hingga kehabisan waktu untuk diri sendiri. Serta banyak cerita lain yang sempat aku katakan salah dan tidak ideal dari kaca mata perempuan. Dari sini, jauh-jauhlah rasa angkuh dan sombong. Maka dengan menyadari dan menerima ini sebagai bagian dari kehidupan perempuan hari ini, semoga jadi bahan untuk aku selalu berbuat dan berempatik pada sekitar.
Bergerak Menuju Kehidupan yang Berdaya dan Inklusif: maka sudah seharusnya aku menuju kepada-menjadi manusia yang berdaya. Berdaya dalam berpikir dan bertindak, yang mengedepankan kemanusiaan. Manusiakan manusia!
Tapi kurasa semua orang belum tentu memiliki tujuan hidup. Aku juga tidak punya. Aku hanya bersenang-senang – Lee Yeo Reum (Summer Strike Eps. 5)
pict: https://pin.it/h4YliKi
Tak perlu punya tujuan hidup, bersenang-senanglah. Aku sejujurnya setuju dengan ini, tapi aku tidak mengamalkan. Aku mungkin punya fleksibilitas dalam melihat opini tersebut. Saat aku mendengar pendapat Yeo-Reum, aku tidak ingin berhenti memahami seperti yang dilakukan Jo Ji-Yeoung yang berakhir pada prasangka dan rasa benci ketika seseorang tidak sesuai dengan nilai dan standar hidupnya. Tentu saja sebagai penonton, aku sudah mengikuti empat episode perjalanan hidup Yeo-Reum untuk ia sampai pada kesimpulan soal hidup ga perlu punya tujuan. Ini yang biasanya hilang dalam komunikasi di lingkungan sosialku. Mengambil kesempatan untuk sejenak diam, netral, dan berempatik. Lantas kemudian berani mengambil sikap bahkan tindakan apapun setelahnya, itu hak semua orang.
pict: https://pin.it/2RV6RO6
Bagaimana semua orang akan tahu, jika Yeo-Reum telah menghadapi tahun-tahun yang memuakkan dengan selalu menyesuaikan diri dengan standar lingkungan, standar orang lain. Selalu bertoleransi dengan lingkungan kerja yang toxic dengan bos mesum. Gagal dalam hubungan yang telah dijalani enam tahun lamanya. Hingga kematian mendadak ibunya yang juga semakin membuat ia lelah menjalani hidup. Hingga pada satu titik ia memutuskan berhenti berlari mengejar kereta pagi untuk berangkat kerja juga berhenti berlari mengejar kereta sore sepulang kerja. Ia memutuskan untuk tidak melakukan apa-apa. Siapa yang akan peduli dengan cerita panjang di belakang opini dia soal hidup senang-senang doang ga perlu tujuan?
Jika seseorang memutuskan untuk hidup dengan cara dia, maka aku akan menghormati itu. Menyadari bahwa ia tengah menjadi seorang manusia kompleks. Jika aku pun memutuskan untuk menjalani hidup seperti yang ingin aku jalani, maka begitulah adanya. Setidaknya saat ini, aku memutuskan untuk memiliki tujuan hidup dan ingin bersenang-senang menjalani prosesnya. Jika suatu hari ini berubah. Maka berubahlah. Tidak apa-apa.
Nay! Makasih udah jadi Naya yang aku kenal, jadi teman seneng dan susah. Bener-bener definisi temen yang ada pas seneng, dan nemenin pas susah. Sebulan ke belakang aku kehilangan semangat, kebahagiaan, keceriaan. Mereka ilang gitu aja Nay, tiba-tiba aja bisa sedih banget dan nangis di ranjang sampe sesek. Dua minggu tanpa ngerasa lapar, ajaib. Dua minggu susah tidur dan bangun cuman karena muntah-muntah. Iya, itu aku ketika dunia tiba-tiba ga seimbang. Lebay. Tapi emang begitulah adanya. Aku kehilangan banyak hal, termasuk berat badan yang sangat aku inginkan. Lalu Naya hadir, nemenin, meskipun bukan dengan pelukan tapi dengan sumpah serapah dan caci maki hahaha Keliatan jelas kamu pengen bilang kenapa aku nyiksa diri, kenapa aku bodoh banget, tapi kamu ga bilang apa-apa. Nyerahin sepenuhnya sama aku, soal apa yang aku pikirin, soal apa yang aku rasain. Kamu ga nyaranin apapun, kamu cuman nyamperin dan tinggal di samping aku sampe aku ngerasa lebih baik. Pas Naya balik ke Bandung, rasanya berat banget tau! Terus tiba-tiba banyak paket dateng ke kosan. Kamu ngirim hal-hal yang aku butuhin, dan tau banget kalo aku ga akan peduli sama hal-hal itu. Bisa jadi karena aku terlalu cuek, atau terlalu bokek. Kamu liat aku selalu kuliah daring atau terapi virtual dengan megang hape berjam-jam. Aku tau aku butuh folding bracket, tapi aku selalu lupa buat beli. Maklum sibuk. Aku sering kelaperan tapi mager beli bahkan mager nyemil. Aku baru nyoba pake softlense, dan pasti ga peduli sama penampilan. Lalu kamu kirim semua yang aku butuhin itu. Meskipun kamu ga ngirim kaos Barasuara yang aku pengen. Kureng Nay! Perhatian kecil yang murah tapi berharga banget. Postingan ini kalo dibaca lagi di kemudian hari, kita bakal ngakak dan ngenang ini sebagai masa-masa muda yang menyakitkan sekaligus menyenangkan. Aku mungkin kehilangan banyak hal, tapi satu yang jelas, aku mensyukuri satu hal. Aku punya Naya yang akan selalu jadi temen aku. Yang mulutnya lemes banget tapi hatinya hangat. Pamulang, 30/11/21
Wina yang lagi ulang tahun ke 23, punya temen yang sama di umur 27, yang selalu jadi pendukung bahkan ketika aku melontarkan banyak pernyataan aneh seperti "Cun, abis ini urang mau ambil S3 di Jepang", atau "Cun, urang mau menghilang aja dari dunia" dan pernyataan random lainnya. Ratu tetap jadi orang yang sama, seperti 14 tahun lalu aku kenalan di mushola Darul Arqam. Makasih Cun!
To my dear friend, Windut.
i wrote this amidts the hectic rodi works of cooking the dishes for tomorrow’s Eid, but today is your birhtday, there must always be some spare time to celebrate it. HAPPY BIRTHDAY is a globally mainstream words to say, therefore i will not say it. instead, here is some things i wanted to confess to you..
i apologize, for not being ‘the friend’ that is always be there when you need one. i guess i am just not the type to be one. i know you are having a rough time adjusting to the life after college, having to go to work and going to shcool at the same time, must be hard indeed, but never did i cheer you on when you really need it. i am nowhere to be found. sometimes, i do regret the time that passed by without us checking on one another, in regard to this, i’ll do better.
you know, as the time passes, i am less likely to write encouraging stuff like i always did back then. remember the one i wrote about the love, the dreams, and every life stories we share? i no longer do that. as we grow older, writing stuff doesnt seem to be necessary anymore, we remember things by heart, let each and every moment that passes become only a visual memory, which later, those memories started to be erased from time to time. life is becoming more realictic than we thought back then.
i am not the type of friend who will sending you messages, asking about how are you doing and how’s life. sometimes, i even forget birthdays and another important event that need to be cherised. therefore i apologize once again, i feel bad for not knowing about how you overcome hardships, how is work, and how you deal living far away from home. the thing i regret the most is that we’re currently living in the same city roof, yet i never made the time for a visit. it’s a shame. i am sorry.
honestly, there are endless things i want to share with you, like we always did back then, but i never make enough effort to do that. sometimes, i am just too absorbed in a busy life, and use that as an excuse.
we’ve been friend for longer than 10 years, and you always participated in a big part of my journey. i hope i do too in yours. we may not seeing each other often, not even texting in once a week just to check on how our day went, but i believe the friendship we have has never and will never change.tell me if you have a hard time, i am always here. i may never be able to help, or give out any solutions, but i am ready to listen, in case two ears are not enough, i have the whole heart to listen to your stories.
i am happy that we met, i am grateful to the fate, i am glad to have you as a friend.
from the bottom of my heart, i always pray for your well-being. being successful is not always the matter in a prayer, it is being healthy and wholeheartedly happy is what matter the most. i wish you are given just enough strenght to overcome things in life, always wake up in the morning with a warm heart, and end the day without any regret. eat a lot, laugh a lot, and have enough sleep.
one last thing, i wish you find the love of your life very soon! it’s just about time, isn’t it? hehe, anyhow, i’ll be happily cheering, and wishing for the best :)
i love you!
Rancaekek, June 24th 2017, 16.05 WIB. Ratu.
pict: pinterest
Tahun 2022 baru saja berlalu dalam tanggalan ke belakang. Sudah seminggu berlalu dan kalender di dinding menunjukkan angka baru; 2023. 2022 merupakan tahun yang berat dan jungkir balik. Secara fisik dan mental. Aku melewati paruh pertama dengan menjadi pasien seorang psikolog. Semenjak paruh akhir 2021. Tengah tahun 2022, aku tetap konsultasi ke psikolog. Ini hanya sebuah usaha untuk tetap menjadi waras dan untuk menyelamatkan fisikku yang kian hari kian turun berat badan. Selama itu, aku menutup diri dari banyak hal, tapi juga membuka diri pada banyak hal. Ada lubang menganga besar di dadaku yang pun betapa mengangga ia, yang hadir hanyalah kekosongan.
Pelan-pelan, di paruh akhir tahun 2022, aku mulai kembali merasa hidup. Aku menemukan diriku lagi. Aku menghidupi lagi values yang selama ini aku miliki. Bukan hanya karena usahaku sendiri untuk sembuh, tapi berkat keluarga, teman dan sahabat terdekat yang terus menemani fase berat dalam hidupku. Mereka, secara bergantian membersamai. Ga perlu aku sebut, karena kalian sudah tentu tau dan merasa. Terima kasih banyak.
Dan, yang padam dalam rongga dada, kini menemukan kembali nyalanya. Aku mulai menyalakan kembang api. Dengan percik sedikit. Dengan hangat yang cukup. Hingga jadi kobar yang membara. Tapi. Cantiknya bak kembang api tahun baru yang aku saksikan di sepanjang tol layang menuju Jakarta. Euforianya akan hilang. Apinya akan padam. Tapi aku tau, bahwa aku sudah dalam pelukan kehangatan yang paling tepat.
Selamat menempuh 2023 Wina, dengan cinta dan kasih sayang terbaik yang bisa kamu berikan pada semesta.
Kali ini aku masuk kelas virtual dengan terburu-buru, setelah tanpa sengaja ketiduran di ranjang kosan. Sebelum kamera leptop menyala, aku sempatkan memperbaiki riasan sekenanya. Hari ini mata kuliah Pengantar Kesehatan Mental Komunitas dan Disabilitas, dosen tamu kali ini Dr. Bahrul Fuad, MA (niscaya setelah ngecek LinkedIn aku terkagum-kagum dengan profil beliau). Pak Fuad terlahir dengan disabilitas dan hidup menggunakan kursi roda, dan kemarin mengisi kelasku dengan sangat mengagumkan. Kami berbicara tentang konsep dan perspektif disabilitas, diskusi yang terbangun begitu menarik. Aku sangat suka berada di ruang kelas, belajar, dan mengetahui sesuatu yang baru.
disability is “an evolving concept”, but also stresses that “disability results from the interaction between persons with impairments and attitudinal and environmental barriers that hinder their full and effective participation in society on an equal basis with others” - The Preamble to the CRPD
Jika melihat definisi ini, seseorang dikatakan sebagai disabilitas ketika terjadi interaksi antara keterbatasan seseorang baik fisik dan/atau mental dengan hambatan lingkungan dan sikap masyarakat yang menyebabkan dia tidak bisa berpartisipasi dalam masyarakat secara setara. Persoalan disabilitas bukan pada impairment-nya, tapi justru di luar dirinya. Peningkatan partisipasi sosial orang dengan disabilitas dapat dicapai justru dengan mengatasi hambatan-hambatan yang menghalangi penyandang disabilitas dalam kehidupan mereka sehari-hari (hambatan lingkungan dan sikap masyarakat).
Pak Fuad membagi pengalamannya ketika study di Belanda, dia tidak merasa dirinya disabilitas karena ketika ia di Belanda, ia bisa berpartisipasi di masyarakat sebagaimana manusia lainnya. Beliau bisa menggunakan angkutan umum dan mengunjungi tempat-tempat yang dituju dengan mudah, karena lingkungan tidak menghambatnya untuk bergerak dan berpartisipasi. Ketika beliau kembali ke Surabaya, beliau kembali menjadi disabilitas. Cerita lain, ketika Pak Fuad merasa heran karena tidak pernah ada rapat warga di tempat beliau tinggal. Ketika ia bertanya tentang rapat rutin yang mungkin ada, ternyata para tetangga telah bersepakat untuk “memaklumi” kondisi Pak Fuad sehingga dianggap tidak perlu ikut rapat warga. Padahal Pak Fuad sendiri ingin dan bisa untuk ikut bersosialisasi dengan tetangganya. Hmm.
Sudah seharusnya kita mulai melihat disabilitas dengan kacamata yang lebih jernih. Setiap manusia unik, dan pemahaman uniqueness ini perlu ditingkatkan terutama oleh kita yang merasa non-disabilitas. atau yang kadang-kadang ngerasa sempurna tanpa kelemahan.
terakhir ada kutipan milik Pak Fuad yang sangat berkesan sekaligus nyentil ulu hati:
“everything you hear about disability is an opinion, not a fact; and everything you see on disability is only a perspective, not the truth; unless you experience it. (Bahrul Fuad, 2017)
Sebagai anak yang lahir di tahun 90-an dan memiliki tiga abang laki-laki yang lahir di antara tahun 80-90 an, aku menjadi adik perempuan hasil doktrinasi musik pop Indonesia kala itu, mungkin musik 90-2000. Dulu, kami punya rumah sederhana dengan tiga kamar. Pembagiannya cukup jelas, satu kamar untuk orang tua, satu kamar untuk anak laki-laki, dan satu kamar untuk anak perempuan. Meskipun secara kuantitas dan kualitas pembagian ini kurang ergonomis. Satu kamar sempit harus diisi tiga anak laki-laki (adik laki-lakiku ga perlu dihitung karena masih tidur sama Mimih dan Bapak) tentu saja tidak mudah. Tapi kami tidak punya banyak waktu untuk mengeluh, selama kami punya radio tape dan musik. Jarak umurku dengan kakak laki-laki tertua cukup jauh, mungkin usiaku masih di bawah tujuh tahun saat memiliki kesadaran tentang kaset-kaset pita milik abangku yang tersusun rapi di rak buku; Sheila on 7, Dewa 19, Padi, Jikustik, Slank, Jamrud, PeterPan, Base Jam, Mocca, Naif, Coklat, KLA Project. etcetera. Tumbuh dengan melihat abang yang saban hari benerin pita kaset yang kusut pake pulpen adalah kenangan masa kecilku.
Hari ini aku ngobrolin Noah yang remake video klip “Yang Terdalam” dengan dua orang sahabatku. Honestly, aku sangat menikmati dan memutarnya berulang sambil ngerjain ujian akhir semester. Aku buta nada, ga paham musik, dan hanya penikmat saja. Tapi rasanya nyaman sekali, gambaran masa kecilku berkelibatan di kepala. Btw, rambut Iqbal Ramadhan bikin ngiri, sebagai fans lelaki gondrong dan perempuan rambut pendek, pas Bale kibas-kibas rambut jadi pengen ke salon.
Aku juga bertanya pada mereka, jika ada lagu dari masa lalu yang mereka ingat dan ingin mereka dengar lagi sekarang, hanya satu lagu saja, mereka akan pilih lagu apa. Aku memberi mereka sedikit waktu untuk berpikir. Lagu yang muncul adalah Menghitung Hari dari Anda dan Ruang Rindu dari Letto. Pilihan yang hangat.
Aku selalu percaya bahwa musik mampu mengikat manusia, mengikat dengan kenangan dan perasaan.
Terhitung sejak 28 Januari 2024, kami sekeluarga menjalani hari-hari yang berat. Ibu, Ibu mertua jatuh sakit dengan kondisi yang cukup serius sampai harus dirawat di Intensive Care Unit (ICU) dan High Care Unit (HCU). Saat ini kondisinya alhamdulillah membaik, menjalani perawatan di rumah bersama anak-anaknya. Semoga kondisi ibu terus membaik dan pulih.
Selama menjalani perawatan, aku melihat betapa kami, keluarga, menepis rasa lelah. Masgo dan adik-adik bergantian menjaga dan menemani ibu siang dan malam. Bagiku pribadi, yang membuat lelah adalah melihat Ibu terbaring sakit dan sendirian di ruangan HCU pun ICU. Memikirkan bagaimana disamping kesakitan yang dialami, Ibu mungkin saja merasa kesepian. Hanya bisa bertemu anaknya yang secara bergantian di jam makan atau besuk saja. Tentu saja, momen ini membawa kembali ingatanku ketika merawat Bapak di ruang isolasi Covid tahun 2021. Beratnya. Sesaknya. Aku rasakan kembali ketika menemani Ibu mertua saat ini. Belum selesai dengan perasaan ini, aku jatuh sakit karena Covid tepat di tengah kami semua sedang menjaga ibu yang masih tergolek di ICU. Isoman ga bisa dihindari. Aku merasa amat sedih karena tidak bisa ikut membantu adik-adik menemani ibu di rumah sakit. Tapi yang lebih sedih, menerima kenyataan bahwa aku ikut merampas waktu suamiku untuk menemani ibunya, karena harus turut isoman denganku saat itu.
Di tengah isoman, kami berdua mencoba untuk tetap bisa menemani keluarga meski jarak jauh. Hal-hal kecil yang bisa kami lakukan salah satunya dengan memasak. Memasak jadi salah satu hiburan untukku, mungkin juga suamiku. Untuk mengurangi rasa sesal kami yang mendalam. Kami bisa mengirim makanan ke rumah, supaya adik-adik bisa ikut makan. Karena kerja perawatan, kadang membuat orang lupa untuk makan dan tidur tepat waktu. Meski ketika mengantar masakan, aku hanya bisa saling lambai di depan pagar rumah dengan anggota keluarga yang lain.
Ada satu momen ketika aku dan Masgo bertukar pesan via whatsapp. Aku tengah bekerja dan absen untuk menemani ibu di RS. Betapa patah hati menerima pesan dengan nada sedih dari suamiku. Jarang sekali kami membagikan rasa sedih via pesan singkat. Dia patah hati, dan aku juga patah hati.
Untuk Masgo dan adik-adik yang paling aku sayangi; Terima kasih karena selalu ada untuk Ibu. Karena tetap bertahan dan mengambil keputusan-keputusan berani (yang terkadang sulit) dalam mendampingi ibu di kala sakitnya. Lorong-lorong rumah sakit, bunyi mesin dan kabel medis jadi saksi bakti dan cinta kalian untuk Ibu. Insya Allah kita akan sama-sama melewati ini. Segalanya hanya dengan izin Allah SWT.
Allāhumma rabban nāsi, adzhibil ba’sa. Isyfi. Antas syāfi. Lā syāfiya illā anta syifā’an lā yughādiru saqaman.
Ciledug, 16 Februari 2024
Ada masanya ketika mengucapkan terima kasih sulit sekali untuk dilakukan. Atau ketika meminta maaf jadi pekerjaan yang melelahkan. Keduanya selalu tidak tepat untuk disampaikan. Hingga pada akhirnya, terima kasih dan maaf kehilangan kekuatannya. Manusia kehilangan ruang untuk dialog.
Hari ini, aku memutar Frau dari kanal youtube Sound from The Corner (SFTC). Dibuka dengan spotlight piano dengan satu kursi, dimana Frau, Leilani Hermiasih, atau Lani nama panggilannya akan berjalan dan duduk menghadap piano. Aku, entah mengapa selalu terobsesi dengan pertunjukan, drama, dialog, panggung, dan lampu sorotnya. Sudah sejak lama, SFTC menjadi salah satu agenda pribadiku dalam membunuh waktu. Aku akan masuk ke http://www.soundsfromthecorner.com./ atau melakukan pencarian cepat di youtube. Baik kategori Session atau Live yang disajikan SFTC akan aku nikmati baik secara auditori maupun visual.
Lalu Frau akan memainkan piano dengan lagu pembuka I’m a Sir.
I'd dress up like a sir, I'd dress up as a sir Stick on a mustache, a beard, and some speckles And put on a hat, like a sir I'd step up like a sir, I'd step up as a sir My queen shall lay her sword on my shoulders As I say my prayers to bless her
Sejurus kemudian, aku membaringkan tubuh di atas ranjang dengan Frau terus bernyanyi. Rasanya kepalaku berat sekali. Setelah dua hari tidak bisa tidur. Mencoba memejamkan mata. Berusaha keras mengosongkan pikiran. Aku izinkan Frau memenuhi isi kepalaku. Rasanya nyaman sekali. Mungkin ini lullaby yang aku butuhkan.
Lalu Frau masuk ke lagu ke tiga, judulnya Empat Satu, aku memasrahakan diri mendengarkan setiap liriknya. Sialnya, kini kepalaku berubah menjadi kotak musik dengan gambar yang muncul bergantian. Gambar-gambar dari kejadian dan potongan peristiwa dari salah satu lobus di otakku. Mungkin saat itu, lobus temporalku mendapat stimulus yang berlebihan karena dia bertanggung jawab terhadap fungsi pendengaran, memori, dan emosi.
Gambarnya terjeda dalam potongan dialog;
“Yang ada antara aku dan kamu adalah kerinduan, penyesalan, harapan dan ketakutan. Layaknya yang terjadi antara Yennefer of Vengerberg dan Geralt of Rivia. Yang ada diantara kita adalah rasa sakit yang aneh, yang digabungkan dengan kebahagiaan. Tapi aku menyadari hanya itu yang aku butuhkan, sudah segalanya bagiku” -
Lalu aku jatuh tertidur. Karena justru, waktulah yang berhasil membunuhku.