Salah satu sahabatku bilang, semakin dewasa ada salah satu kemampuan yang berkembang hebat, kemampuan mengambil hikmah.
Untuk sebentar aku tertawa mendengar jawaban dia. Bener banget. Rasanya semakin tua dan dewasa, keterampilan mengambil hikmah semacam cara untuk menenangkan diri dari segala problematika kehidupan yang njelimet. Aku sering melakukan itu. Mungkin dengan terminologi yang sedikit berbeda, refleksi, aku lebih sering menggunakan term ini. Tapi bukan saja soal mengambil hikmah, kemampuan ini sering aku gunakan untuk memvalidasi hal-hal yang terjadi, memahami kembali peristiwa yang telah terjadi, dan mengambil ibrah dengan penuh kesadaran.
Terus ada satu lagi yang jadi highlight pertemuan mendadak kami. Kami menyepakati bahwa manusia tidak akan pernah 100% cocok dengan partner. akan ada sekian persen ketidakcocokan. Misal, si X memiliki 75% kecocokan dengan si Y, tapi ada 25% hal-hal yang ga cocok. Akan selalu seperti itu meskipun dengan derajat yang mungkin berbeda-beda. Tapi, setelah obrolan yang panjang dan agak serius, kami setuju untuk memandang bahwa jika kita sudah menemukan 75% kecocokan dengan seseorang, maka 25% yang lain adalah kesempatan untuk mencocokan diri. Kami rasa, toleransi terhadap ketidakcocokan itu penting. Tapi, aku ga bisa berhenti sampai disana, semua itu harus dibingkai oleh koridor dan prinsip yang kita punya. Jika menciderai prinsip dan koridor itu, lantang saja dan berani katakan bahwa kita tidak cocok.
Kami merayakan pertemuan singkat ini dengan memesan takoyaki, merayakan tips cuma-cuma yang kami temukan tanpa sengaja.
Kuhentikan Hujan - Sapardi Djoko Damono
Kuhentikan hujan. Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahan Ada yang berdenyut dalam diriku Menembus tanah basah dendam yang dihamilkan hujan dan cahaya matahari Tak bisa ku hentikan matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga
Selamat Ulang Tahun, Sahabatku Nurrayyan Alfatihah
The Love Language Profile yang ditulis oleh yang empunya Chapman (2015) digunakan untuk menilai cara-cara individu dalam berkomunikasi. Seperti yang kita tau, ada lima bahasa kasih yang amat populer disisipkan dalam obrolan anak-anak remaja atau manusia dewasa, diantranya; words of affirmation, quality time, receiving gifts, acts of service, dan physical touch. Chapman juga berpendapat bahwa alasan utama munculnya masalah dalam hubungan adalah karena pasangan berbicara dengan bahasa cinta yang berbeda. Bagiku masih masuk akal.
Aku justru amat menyadari hal ini ketika bekerja di Aceh Singkil. Lalu amat tersiksa atas relasiku dengan salah satu teman sepenempatan. Susah banget rasanya komunikasi sama dia. Gini salah gitu salah. Terus aku merasa sudah sangat berusaha membangun komunikasi, mencoba memahami, tetap saja nihil. Hasilnya? Ya akunya aja goblok sebenarnya hahaha
Lalu gagasan ini muncul ketika kami memiliki waktu refleksi yang dingin, dimediasi oleh pihak ketiga. Mentor. Dengan segala permasalahan yang terjadi antara aku dan dia, salah satu kemungkinan penyebabnya adalah karena kami berbicara dengan bahasa kasih yang berbeda. Bagiku, yang dominan words of affirmation, nanyain kabar, nyemangatin dengan kata-kata, sudah sangat mewakili kepedulianku terhadap teman sepenempatan. Tapi ternyata, bagi dia yang acts of service, semua itu hanya omong kosong dan ilusi kalo aku ga sampe nyamperin dia sebagai bentuk komunikasi dan dukungan yang diharapkan. Sampe belut buluan, maksud kami ga akan pernah ketemu! Karena aku sudah merasa cukup, sedangkan dia tidak. Juga sebaliknya. Ketika dia lupa bilang tolong, maaf, atau terima kasih, aku bapernya minta ampun sampe ke ubun-ubun. Dongkol. Meskipun hanya ada dalam kepalaku saja. Ya ini pengalaman relasi sosialku yang coba menerapkan teori love languagenya Chapman. Setelah tau, rasanya lebih mudah berinteraksi secara sehat dan dua arah. Kami saling memahami dan toleransi terhadap kebutuhan orang lain. Lantas dalam relasi romantis? Ya silakan yang punya pengalaman boleh mengingat-ngingat.
Akhir-akhir ini aku sedang merasa penuh, akibat berbagi playlist dengan mereka yang terdekat dan terkasih. Ketika stres menyerang, sungguh kalimat sederhana “Win dengerin ini deh”, rasanya memberikan ketentraman batin yang tiada dua. Konten yang dibagi denganku juga beragam, mulai dari podcast, video youtube, ceramah, diskusi tertentu dan terutama musik. Mereka yang membagi playlistnya denganku tentu saja sudah lebih dulu mendengarkan, bisa jadi juga merupakan bagian favoritnya, lalu mereka dengan sadar membagi, merekomendasikan, dengan penuh perhatian kepadaku. Tentu sangat membuatku penuh. Haru. Hangat. Terkadang ingin mewek.
Buat kalian yang menyempatkan, untuk sekian detik, memikirkan playlist dan membaginya denganku. Aku sangat berterima kasih. Sangat berarti bagiku. Sungguh. Semoga kalian selalu dipenuhi cinta kasih setiap hari :)
source: youtube.com Salah satu lagu yang aku nikmati akhir-akhir ini, silakan ikut mendengarkan jika berkenan.
Bu Lastri bikin bubur kacang ijo pake daun pandan, wangi banget. Dia anter semanguk bubur kacang ijo ke kamarku. Sedang aku sibuk dengan banyak sekali laporan assessment anak-anak di klinik. Casual aku putar sambil mandang bubur kacang ijo lekat-lekat, lamat-lamat. Ah. Aku masih harus mensyukuri hari ini. Hamdallah bubur kacang ijonya enak banget.
Apa sih serunya nonton orang Jepang yang jajan ke warung makan tengah malem? Mungkin terdengar sangat biasa. Serial Jepang berjudul Midnight Dinner tidak sengaja aku temukan ketika mencari serial drama yang ringan di Netflix. Setelah membaca review singkatnya, aku langsung nyoba episode pertama di season pertama serial ini, dan ternyata nagih.
Setiap episode dibuka narasi Master (juru masak) di sebuah warung makan kecil di Tokyo yang hanya buka pukul 12.00 dini hari sampai 07.00 pagi. Tempat makan yang kecil dengan meja bar berbentuk U yang biasa kita temui di restoran-restoran Jepang lengkap dengan gelas sumpit. Warung makan milik Master ini ga punya menu khusus, aturan sang Master adalah dia akan menyajikan makanan yang dipesan pelanggannya selama ia punya bahan-bahannya. Jangan salah, Master punya banyak pelanggan tetap mamupun mereka yang datang dan pergi karena kebetulan saja.
pict source: https://www.mainmain.id/
Bagian yang menurutku menarik adalah, setiap episode yang durasinya sekitar 25 menit ini akan menceritakan satu kisah yang berbeda. Biasanya adalah kisah-kisah pelanggan yang datang ke rumah makan ini. Ceritanya relate dengan kehidupan manusia pada umumnya; kesepian, kesedihan, kehilangan, patah hati, amarah, cinta kasih. Yang menarik setiap cerita akan memiliki relasi dengan makanan tertentu. Misalnya saat Gen seorang yang berpenampilan kasar seperti Yakuza selalu memesan akar gobo kepada Master. Ternyata akar gobo memiliki kenangan yang dalam tentang masa lalunya di SMA. Pengenalan - konflik - hingga resolusi dapat tersampaikan dengan baik dalam 25 menit.
pict source: https://www.mainmain.id/
Setiap episode menjadi kaya akan cerita dan karakter setiap tokoh yang diceritakan. Aku akan menemukan kegelisahan seorang pekerja swasta perusahaan Jepang yang hampir tidak bisa membayar sewa rumahnya, seorang wanita penghibur yang berusaha keras menghadapi stigma karena ia bekerja dari menari malam hari, seorang ayah yang merindukan anaknya, atau tokoh-tokoh lain yang mungkin saja sama seperti mereka yang aku temui di kehidupan ini. Mereka membawa cerita, berkah, dan bebannya masing-masing.
Master, masakannya, dan warung makan kecil di tengah malam Tokyo menjadi semacam tempat sementara bagi orang-orang yang datang untuk sejenak beristirahat, sambil menikmati makanan rumahan yang mendatangkan banyak kenangan dari masa lalu.
Aku pernah mengingat kenangan hanya gara-gara makan pecel lele, ice cream McD, atau makanan apapun yang bisa membangkitkan cerita dari masa lalu.
Dari sekian bintang cakrawala Apa hanya kita saja yang bernyawa? Lahir, kita semua tak berdaya Lalu hidup kita mesti berupaya Dan dewasa terpaksa memikul raya
Banyak yang aku tak akan tahu Yang kamu tak akan juga tahu jawabannya Sejenak berhenti bertanya Nikmati saja waktu yang kita punya Nikmati saja waktuku yang kupunya
Mustahil untuk kupahamimu Tak sepenuhnya kau pun memahamiku Tak tahu Mungkin memang nadi kita Mungkin bila semua aku pahami Mungkin rasa ini tak menarik lagi
Sebagai anak yang lahir di tahun 90-an dan memiliki tiga abang laki-laki yang lahir di antara tahun 80-90 an, aku menjadi adik perempuan hasil doktrinasi musik pop Indonesia kala itu, mungkin musik 90-2000. Dulu, kami punya rumah sederhana dengan tiga kamar. Pembagiannya cukup jelas, satu kamar untuk orang tua, satu kamar untuk anak laki-laki, dan satu kamar untuk anak perempuan. Meskipun secara kuantitas dan kualitas pembagian ini kurang ergonomis. Satu kamar sempit harus diisi tiga anak laki-laki (adik laki-lakiku ga perlu dihitung karena masih tidur sama Mimih dan Bapak) tentu saja tidak mudah. Tapi kami tidak punya banyak waktu untuk mengeluh, selama kami punya radio tape dan musik. Jarak umurku dengan kakak laki-laki tertua cukup jauh, mungkin usiaku masih di bawah tujuh tahun saat memiliki kesadaran tentang kaset-kaset pita milik abangku yang tersusun rapi di rak buku; Sheila on 7, Dewa 19, Padi, Jikustik, Slank, Jamrud, PeterPan, Base Jam, Mocca, Naif, Coklat, KLA Project. etcetera. Tumbuh dengan melihat abang yang saban hari benerin pita kaset yang kusut pake pulpen adalah kenangan masa kecilku.
Hari ini aku ngobrolin Noah yang remake video klip “Yang Terdalam” dengan dua orang sahabatku. Honestly, aku sangat menikmati dan memutarnya berulang sambil ngerjain ujian akhir semester. Aku buta nada, ga paham musik, dan hanya penikmat saja. Tapi rasanya nyaman sekali, gambaran masa kecilku berkelibatan di kepala. Btw, rambut Iqbal Ramadhan bikin ngiri, sebagai fans lelaki gondrong dan perempuan rambut pendek, pas Bale kibas-kibas rambut jadi pengen ke salon.
Aku juga bertanya pada mereka, jika ada lagu dari masa lalu yang mereka ingat dan ingin mereka dengar lagi sekarang, hanya satu lagu saja, mereka akan pilih lagu apa. Aku memberi mereka sedikit waktu untuk berpikir. Lagu yang muncul adalah Menghitung Hari dari Anda dan Ruang Rindu dari Letto. Pilihan yang hangat.
Aku selalu percaya bahwa musik mampu mengikat manusia, mengikat dengan kenangan dan perasaan.
Boleh jadi, menikah adalah keputusan terbesar yang pernah aku ambil, mengingat konsekuensinya mempengaruhi hampir sebagian besar hidupku. Keputusan-keputusan lain seperti memilih tempat kerja, menjadi relawan, mengambil job sampingan, pergi merantau, mereka juga keputusan besar, tapi tidak sebesar menikah.
Tidak ada pernikahan impian yang aku miliki. Berniat menikah dengan pesta kecil dihadiri keluarga dan sahabat saja tidak bisa dilakukan. Tentu saja karena beberapa pertimbangan, pestanya harus menjadi lebih besar dari keinginanku. Tetap bersyukur; setidaknya aku, suami, keluarga kami bahagia dengan pesta itu. Karena tidak ada wedding dream laiknya muda mudi umum. Proses pernikahan kami termasuk cepat, dan bisa masuk ke kategori sat-set, a.k.a kami berdua mageran untuk ngeribetin diri, fafifu wasweswos, hampir banyak dari vendor yang dipilih tidak lebih dari hitungan menit. Dahlah, manusia punya standar masing-masing, dan standar kami adalah yha begini wkwkwk
Dalam minggu yang sama menjelang pernikahan, aku menghadapi dua momen besar; sidang tesis di hari Senin, menikah di hari Sabtu. Senin malamnya Masgo masuk rumah sakit dan harus di rawat tiga malam ke depannya. Anehnya, aku masih dalam kondisi oke, engga panik, dan santai aja. Maksudku, aku dalam posisi sadar bahwa aku butuh diriku aware bahwa satu-satu harus dilewati. Jika Senin aku harus sadar diri ada tesis yang harus dirampungkan, maka malam-malam berikutnya aku sadar diri ada Masgo yang perlu ditemani untuk segera sembuh. Tiba di haru Sabtu, ya aku sadar diri bahwa hari itu adalah hari pernikahanku. Sudah itu saja. Lelah rasanya jika terus menerus mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi. Oh mungkin ini skill baru yang aku pelajari karena terpaksa harus hidup mendewasa.
Setelah pernikahan selesai, aku sangat-sangat beruntung dan bersyukur. Melihat keluarga, teman-teman, kolega, bahkan guru-guru yang sangat aku hormati menyempatkan hadir. Aku merasa sangat diberkati dengan doa dan kedatangan mereka. Pun mereka yang tidak sempat datang, doa baik dan tulus yang berdatangan ga ada habisnya aku syukuri. Belum lagi kado-kado pernikahan. Ah terberkatilah orang-orang baik di sekelilingku.
Baikah, anggap saja aku baru membuka salah satu pintu gerbang, menuju perjalanan tanpa batas yang pasti ada batasnya; kematian. Aku memutuskan untuk menikahi dan dinikah Masgo, yang mana penikahan ini hanya akan berakhir ketika salah satu diantara kami mati. Pernikahannya berakhir, perjalannya abadi. Mari berbagi lagi diberbagai kesempatan baik dan buruk, pahit dan manis, kehidupanku ke depan.
Seperti biasa setelah menyelesaikan tugas kuliah, aku rebahan dan scroll up timeline twitter. Kemudian aku membaca komentar seseorang tentang potongan video yang kurang dari dua menit, menunjukkan seorang menteri sedang meminta, bahkan beliau sendiri mengatakan ‘memaksa’ seorang tuli untuk bicara dihadapan banyak orang. Meski dibalut dengan bahasa yang halus, tentang memaksimalkan mulut sebagai pemberian Tuhan, tetap saja video itu mengganggu saya, terdengar tidak empatik dan menciderai hari Disabilitas Internasional yang menandai pemenuhan hak penyandang disabilitas.
(baca) https://mojok.co/liputan/kilas/mensos-risma-diprotes-karena-paksa-penyandang-tunarungu-bicara/
Tapi ada berita baiknya hari ini, angin seger banget sih setelah terbit Perpres no 68 tahun 2020, Komite Nasional Disabilitas (KND) pertama di Indonesia akhirnya dibentuk. KND akan bekerja dalam pemantauan, evaluasi, advokasi pelaksanaan penghormatan, perlindungan juga pemenuhan hak penyandang disabilitas. Jika kita melihat roadmap layanan kesehatan inklusif disabilitas Kemenkes yang sekarang, apresiasi banget perkembangan di level macro, level kebijakan di pusat. Peta jalan “pelayanan kesehatan untuk semua” ini memiliki 7 strategi utama diantaranya;
Mengatasi hambatan fisik dan informasi dalam mengakses layanan Menyediakan tenaga kesehatan yang terampil dan peka disabilitas Menyediakan layanan kesehatan yang menyeluruh Meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas Menguatkan mekanisme dan pelembagaan implementasi kerangka kebijakan Meningkatkan anggaran sektor kesehatan di tingkat pusat dan daerah untuk pengembangan layanan inklusif Mendorong kebijakan dan program yang berlandaskan informasi akurat.
Tentu saja implementasi di level bawahnya yang harus jadi perhatian semua orang. Ga cuman itu sih, pola pikir pejabat tentang disabilitas juga sama pentingnya dengan produk kebijakan apapun untuk ikut diperhatikan. Semoga video viral menteri tadi ga perlu ada lagi, yang tidak sensitif dan tidak empatik.
Lalu pola pikir seperti apa yang harus dikembangkan? Sejauh yang aku pahami, disabilitas adalah konsep yang dinamis, ia terus menerus mengalami perubahan dan perkembangan. Menurutku penting untuk mengenal perkembangan dalam melihat disabilitas. Dahulu, paradigma yang berkembang adalah berdasarkan moral juga pendekatan religious. Disabilitas dianggap sebagai dosa, kutukan, dan sebagainya (anggaplah ini anggapan yang berkembang di zaman kegelapan). Kemudian disabilitas bergerak ke charity model dimana masyarakat melihat orang dengan disabilitas melalui kacamata belaskasihan dan objek amal semata. Lalu perkembangannya bergerak ke paradigma medis atau rehabilitasi. Paradigma ini juga dipengaruhi industrialiasi dan kapitalisme, dimana manusia dipandang sebagai alat produksi, jika ada manusia yang cacat dan tidak produktif maka harus diperbaiki. Perkembangan dunia medis juga membuat kecacatan harus diobati sehingga muncul pusat-pusat rehabilitasi. Hingga saat ini perkembangan mengarah ke rights based model, dimana peralihan cara pandang secara global bahwa disabilitas memiliki kesetaraan hak sebagai manusia. Pola pikir disabilitas sudah berkembang dan meninggalkan cara pandang lama yang melihat disabilitas sebagai objek tetapi subjek, berkembang dari masalah medis menjadi masalah interaksi sosial, dari pendekatan amal ke pemenuhan hak, dari proses yang eksklusif menjadi inklusif.
Kita cukupkan saja romantisasi penyandang disabilitas yang sukses sebagai objek motivasi seolah mereka luar biasa dengan pencapaiannya. Seolah aneh dan jarang mereka bisa berhasil. Justru lihat kembali hambatan lingkungan apa saja, hambatan sikap masyarakat yang mana (ex: stigma dan diskriminasi) yang selama ini telah membatasi mereka untuk berpartisipasi optimal ditengah-tengah masyarakat kita. Berapa banyak orang dengan disabilitas yang tidak bisa berpartisipasi secara optimal di rumah, sekolah, tempat kerja, atau di masyarakat karena hambatan yang datang dari lingkungan, bahkan dari piranti kebijakan, bukan dari keterbatasan mereka?
Selamat Hari Disabilitas Internasional teman-teman
Jangan tinggalkan hamba Toh hujan sama menakjubkannya Di Paris atau di tiap sudut Surabaya
Terhitung sejak 28 Januari 2024, kami sekeluarga menjalani hari-hari yang berat. Ibu, Ibu mertua jatuh sakit dengan kondisi yang cukup serius sampai harus dirawat di Intensive Care Unit (ICU) dan High Care Unit (HCU). Saat ini kondisinya alhamdulillah membaik, menjalani perawatan di rumah bersama anak-anaknya. Semoga kondisi ibu terus membaik dan pulih.
Selama menjalani perawatan, aku melihat betapa kami, keluarga, menepis rasa lelah. Masgo dan adik-adik bergantian menjaga dan menemani ibu siang dan malam. Bagiku pribadi, yang membuat lelah adalah melihat Ibu terbaring sakit dan sendirian di ruangan HCU pun ICU. Memikirkan bagaimana disamping kesakitan yang dialami, Ibu mungkin saja merasa kesepian. Hanya bisa bertemu anaknya yang secara bergantian di jam makan atau besuk saja. Tentu saja, momen ini membawa kembali ingatanku ketika merawat Bapak di ruang isolasi Covid tahun 2021. Beratnya. Sesaknya. Aku rasakan kembali ketika menemani Ibu mertua saat ini. Belum selesai dengan perasaan ini, aku jatuh sakit karena Covid tepat di tengah kami semua sedang menjaga ibu yang masih tergolek di ICU. Isoman ga bisa dihindari. Aku merasa amat sedih karena tidak bisa ikut membantu adik-adik menemani ibu di rumah sakit. Tapi yang lebih sedih, menerima kenyataan bahwa aku ikut merampas waktu suamiku untuk menemani ibunya, karena harus turut isoman denganku saat itu.
Di tengah isoman, kami berdua mencoba untuk tetap bisa menemani keluarga meski jarak jauh. Hal-hal kecil yang bisa kami lakukan salah satunya dengan memasak. Memasak jadi salah satu hiburan untukku, mungkin juga suamiku. Untuk mengurangi rasa sesal kami yang mendalam. Kami bisa mengirim makanan ke rumah, supaya adik-adik bisa ikut makan. Karena kerja perawatan, kadang membuat orang lupa untuk makan dan tidur tepat waktu. Meski ketika mengantar masakan, aku hanya bisa saling lambai di depan pagar rumah dengan anggota keluarga yang lain.
Ada satu momen ketika aku dan Masgo bertukar pesan via whatsapp. Aku tengah bekerja dan absen untuk menemani ibu di RS. Betapa patah hati menerima pesan dengan nada sedih dari suamiku. Jarang sekali kami membagikan rasa sedih via pesan singkat. Dia patah hati, dan aku juga patah hati.
Untuk Masgo dan adik-adik yang paling aku sayangi; Terima kasih karena selalu ada untuk Ibu. Karena tetap bertahan dan mengambil keputusan-keputusan berani (yang terkadang sulit) dalam mendampingi ibu di kala sakitnya. Lorong-lorong rumah sakit, bunyi mesin dan kabel medis jadi saksi bakti dan cinta kalian untuk Ibu. Insya Allah kita akan sama-sama melewati ini. Segalanya hanya dengan izin Allah SWT.
Allāhumma rabban nāsi, adzhibil ba’sa. Isyfi. Antas syāfi. Lā syāfiya illā anta syifā’an lā yughādiru saqaman.
Ciledug, 16 Februari 2024