Tentang Menikah

Tentang Menikah

Boleh jadi, menikah adalah keputusan terbesar yang pernah aku ambil, mengingat konsekuensinya mempengaruhi hampir sebagian besar hidupku. Keputusan-keputusan lain seperti memilih tempat kerja, menjadi relawan, mengambil job sampingan, pergi merantau, mereka juga keputusan besar, tapi tidak sebesar menikah.

jujur panas dan serab banget buat ambil foto outdoor :(

Tidak ada pernikahan impian yang aku miliki. Berniat menikah dengan pesta kecil dihadiri keluarga dan sahabat saja tidak bisa dilakukan. Tentu saja karena beberapa pertimbangan, pestanya harus menjadi lebih besar dari keinginanku. Tetap bersyukur; setidaknya aku, suami, keluarga kami bahagia dengan pesta itu. Karena tidak ada wedding dream laiknya muda mudi umum. Proses pernikahan kami termasuk cepat, dan bisa masuk ke kategori sat-set, a.k.a kami berdua mageran untuk ngeribetin diri, fafifu wasweswos, hampir banyak dari vendor yang dipilih tidak lebih dari hitungan menit. Dahlah, manusia punya standar masing-masing, dan standar kami adalah yha begini wkwkwk

Dalam minggu yang sama menjelang pernikahan, aku menghadapi dua momen besar; sidang tesis di hari Senin, menikah di hari Sabtu. Senin malamnya Masgo masuk rumah sakit dan harus di rawat tiga malam ke depannya. Anehnya, aku masih dalam kondisi oke, engga panik, dan santai aja. Maksudku, aku dalam posisi sadar bahwa aku butuh diriku aware bahwa satu-satu harus dilewati. Jika Senin aku harus sadar diri ada tesis yang harus dirampungkan, maka malam-malam berikutnya aku sadar diri ada Masgo yang perlu ditemani untuk segera sembuh. Tiba di haru Sabtu, ya aku sadar diri bahwa hari itu adalah hari pernikahanku. Sudah itu saja. Lelah rasanya jika terus menerus mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi. Oh mungkin ini skill baru yang aku pelajari karena terpaksa harus hidup mendewasa.

bukan flexing akademis :(
nemenin Masgo mam makanan pasien :(

Setelah pernikahan selesai, aku sangat-sangat beruntung dan bersyukur. Melihat keluarga, teman-teman, kolega, bahkan guru-guru yang sangat aku hormati menyempatkan hadir. Aku merasa sangat diberkati dengan doa dan kedatangan mereka. Pun mereka yang tidak sempat datang, doa baik dan tulus yang berdatangan ga ada habisnya aku syukuri. Belum lagi kado-kado pernikahan. Ah terberkatilah orang-orang baik di sekelilingku.

Tentang Menikah

Baikah, anggap saja aku baru membuka salah satu pintu gerbang, menuju perjalanan tanpa batas yang pasti ada batasnya; kematian. Aku memutuskan untuk menikahi dan dinikah Masgo, yang mana penikahan ini hanya akan berakhir ketika salah satu diantara kami mati. Pernikahannya berakhir, perjalannya abadi. Mari berbagi lagi diberbagai kesempatan baik dan buruk, pahit dan manis, kehidupanku ke depan.

More Posts from Winarasidi and Others

3 years ago

April

12.17 AM, sudut layar leptopku berkedip ketika sebuah notifikasi menyembul seolah memaksaku segera mengisi daya. Kembali melirik sudut kanan bawah, ternyata sudah lewat tengah malam, sedang aku masih membuka beberapa Peraturan Daerah (Perda)  terkait perlindungan dan pemenuhan hak disabilitas. Membandingkan satu Perda dengan Perda yang lain. Sudah hampir dua semester ini aku lebih banyak berkutat dengan kebijakan, di kelas-kelas formal jalur zoom, juga di kelas alternatif Think Policy Bootcamp yang tentu saja via zoom juga. Semuanya membuat kosakata istirahat harus selalu ditunda. Aku putuskan untuk merayakan saja.

Memasuki pekan Ujian Tengah Semester, atmosfir urusan kuliah mulai intens. Ditambah aku memutuskan mengambil jadwal praktek di hari minggu per April ini. Lengkap sudah tidak ada warna merah dalam 7/7 kehidupanku. Sekali lagi, aku putuskan untuk merayakan saja. 

Mari rayakan hari-hari tanpa libur yang berarti. Hari-hari yang rusuh berangkat pagi ke tempat kerja sedang mata masih rapet sisa begadang semalaman. Merayakan jam kosong di klinik dengan tidur di atas matras pas bangun sakit badan. Merayakan kuyup karena pun udah pakai jas hujan, angin di Ciputat dan Pamulang tetap ga pandang bulu. Merayakan berbagai rasa sakit dan ga nyaman, merayakan hal-hal kecil yang membahagiakan. 

April, bulan merayakan.

2 years ago

Refleksi IWD 2023: Untuk diriku

Selamat Hari Perempuan Internasional! Biasanya aku merayakan #IWD tiap tahunnya dengan menuliskan refleksi singkat tentang pengalaman, harapan atau kegundahan yang tengah aku rasakan saat itu. Tapi kali ini aku menyempatkan diri untuk duduk diantara Bab-Bab tesisku yang tak kunjung usai dengan menuliskan refleksi IWD tahun ini. Tulisan ini ditujukan untuk diriku. Ada beberapa hal yang ingin aku ingatkan pada Wina di dalam sana.

Merasa Nyaman dengan Diri, Tubuh serta Tektekbengeknya: Sudah sejak kecil aku mendengar standar kecantikan dan tubuh seorang perempuan diperbincangkan. Sejak SD, aku familiar dengan lagu Panon Hideung. Betapa gambaran tentang perempuan cantik yang membuat laki-laki snewen adalah mereka yang berhidung mancung. Lantas hidung pesek ini bagaimana? Tentu saja saat itu aku merasa tercoret dari katagori cantik untuk ukuran perempuan. Namun, seiring berjalannya waktu, aku bertemu dengan banyak sekali perempuan di luar sana. Hingga akhirnya aku menemukan bahwa kecantikan itu universal. Standar kecantikan yang ada berujung pada objektifikasi perempuan. Standar kecantikan hanya buah dari konstruksi yang dibangun media. Etc etc wasweswos. Pikiran soal menjadi cantik di depan orang lain juga terkoreksi dengan sendirinya. Bahwa menjadi cantik adalah untuk diriku sendiri. Saat ini, aku bisa dengan bangga mengatakan di depan cermin bahwa aku sangat menyukai porsi tubuhku yang petite. Gadis semeter setengah yang juga menyukai bentuk hidungnya yang pesek. Menerima bekas luka di pipi kanan yang sulit ditutupi bedak. Menerima secara terbuka luka batin yang sempat perih dan terus tinggal di dalam sana. Menyukai bagaimana aku berpakaian. Mencintai bagaimana aku berbicara dan berpendapat. Aku nyaman dengan tubuh, diri dan segala tektekbengek yang mengikutinya. Seperti sakit pinggang di hari pertama menjelang menstruasi yang nyerinya minta ampun. Aku pun memeluk itu sebagai bagian dari diriku hari ini.

Menerima Bahwa Tidak Semua Perempuan Memiliki Pilihan: Sungguh kenyataan ini sangat menyakitkan. Aku adalah seseorang dengan privilege tumbuh dari keluarga dengan ekonomi menengah ke atas. Bisa mengakses pendidikan dan kesehatan dengan memadai. Hidup nyaman tanpa harus berpikir kebingungan besok makan apa. Bahkan masih bisa bermimpi tentang masa depan. Aku sampai pada kesadaran bahwa dunia tidak berputar hanya di sekelilingku. Ada yang lebih besar dariku. Ada banyak perempuan lain yang justru hidup jauh lebih sulit dari kehidupan yang aku jalani. Kesulitan yang dialami bukan karena kebodohan, kemalasan, atau hal-hal lain. Banyak diantaranya karena permasalahan struktural dan sistemik yang bangsat. Menyakitkan memang melihat salah satu murid perempuanku di pelosok sana memilih untuk berhenti sekolah dan menikah di usia yang masih sangat belia. Mendengar seorang ibu yang rela menjadi korban KDRT demi mempertahankan keluarga dan anaknya. Seorang permepuan yang turut menjadi tulang punggung ekonomi keluarga hingga kehabisan waktu untuk diri sendiri. Serta banyak cerita lain yang sempat aku katakan salah dan tidak ideal dari kaca mata perempuan. Dari sini, jauh-jauhlah rasa angkuh dan sombong. Maka dengan menyadari dan menerima ini sebagai bagian dari kehidupan perempuan hari ini, semoga jadi bahan untuk aku selalu berbuat dan berempatik pada sekitar.

Bergerak Menuju Kehidupan yang Berdaya dan Inklusif: maka sudah seharusnya aku menuju kepada-menjadi manusia yang berdaya. Berdaya dalam berpikir dan bertindak, yang mengedepankan kemanusiaan. Manusiakan manusia!

3 years ago

Lagu dari Masa Lalu

Sebagai anak yang lahir di tahun 90-an dan memiliki tiga abang laki-laki yang lahir di antara tahun 80-90 an, aku menjadi adik perempuan hasil doktrinasi musik pop Indonesia kala itu, mungkin musik 90-2000. Dulu, kami punya rumah sederhana dengan tiga kamar. Pembagiannya cukup jelas, satu kamar untuk orang tua, satu kamar untuk anak laki-laki, dan satu kamar untuk anak perempuan. Meskipun secara kuantitas dan kualitas pembagian ini kurang ergonomis. Satu kamar sempit harus diisi tiga anak laki-laki (adik laki-lakiku ga perlu dihitung karena masih tidur sama Mimih dan Bapak) tentu saja tidak mudah. Tapi kami tidak punya banyak waktu untuk mengeluh, selama kami punya radio tape dan musik. Jarak umurku dengan kakak laki-laki tertua cukup jauh, mungkin usiaku masih di bawah tujuh tahun saat memiliki kesadaran tentang kaset-kaset pita milik abangku yang tersusun rapi di rak buku; Sheila on 7, Dewa 19, Padi, Jikustik, Slank, Jamrud, PeterPan, Base Jam, Mocca, Naif, Coklat, KLA Project. etcetera. Tumbuh dengan melihat abang yang saban hari benerin pita kaset yang kusut pake pulpen adalah kenangan masa kecilku. 

Hari ini aku ngobrolin Noah yang remake video klip “Yang Terdalam” dengan dua orang sahabatku. Honestly, aku sangat menikmati dan memutarnya berulang sambil ngerjain ujian akhir semester. Aku buta nada, ga paham musik, dan hanya penikmat saja. Tapi rasanya nyaman sekali, gambaran masa kecilku berkelibatan di kepala. Btw, rambut Iqbal Ramadhan bikin ngiri, sebagai fans lelaki gondrong dan perempuan rambut pendek, pas Bale kibas-kibas rambut jadi pengen ke salon. 

Aku juga bertanya pada mereka, jika ada lagu dari masa lalu yang mereka ingat dan ingin mereka dengar lagi sekarang, hanya satu lagu saja, mereka akan pilih lagu apa. Aku memberi mereka sedikit waktu untuk berpikir. Lagu yang muncul adalah Menghitung Hari dari Anda dan Ruang Rindu dari Letto. Pilihan yang hangat.

Aku selalu percaya bahwa musik mampu mengikat manusia, mengikat dengan kenangan dan perasaan. 

2 years ago

#28 : Tentang Menjadi Teman Baik

Naya adalah orang yang hobinya berbuat baik sama orang lain. Celetukan banyol yang sebenarnya serius selalu aku lontarkan ketika ketemu Naya adalah perkara “aing ngiri siah sama mane, mane temennya banyak”. Meskipun aku ga pernah benar-benar mengukur secara kuantitas. Tapi sebagaimana Naya dikenal oleh banyak orang, dia memang hobi ngumpulin temen. Tiap tikungan, tongkrongan, ada temennya Naya. Becanda, tapi emang ini berlebihan.

#28 : Tentang Menjadi Teman Baik
#28 : Tentang Menjadi Teman Baik

Naya temen aku yang hobinya makan

Selama kurang lebih 16 tahun kami berteman, naik turun kehidupan kami masing-masing udah khatam satu sama lain. Salah satu yang aku syukuri adalah, dalam pertemanan kami, kami ga pernah marahan, ngambekan, bertengkar, itu ga pernah ada di kamus kami. Mungkin kami berdua sudah sepakat tanpa hitam di atas putih, bahwa senyelekit apapun kritik, bisa dilontarkan masing-masing kami. Misalnya, ketika aku sungguh sangat bodoh dalam hal mengingat sesuatu, melakukan hal-hal simpel, Naya bisa dengan enteng bilang bahwa aku goblok. Tentu saja ga ada persaan marah. Karena emang iya hahahaha

Sebelum aku bisa bawa kendaraan sendiri, Naya adalah supir pribadiku. Di Bandung, Di Jakarta. Tentu saja tidak cuma-cuma, karena aku udah pasti jadi sugar mommy nya Naya. Ada satu waktu kerjaanku hanya bayarin bill nya si Naya, tapi ada satu waktu Naya sugih banget dan jadi sugar mommy nya Wina. Begitulah kami, temenan sejak dari urusan finansial hahahaha bengek.

Naya, segimanapun mulutnya perlu sekolah lagi, sekolah tata krama versi norma sosial, versiku tentu saja ga perlu. Aku bisa bersaksi, bahwa jauh di dalam sana, dia punya hati yang sangat hangat. Sangat hangat. Dia peduli banget sama orang lain. Dia bisa punya begitu banyak teman dengan kualitas pertemanan yang terjaga. Aku gatau kenapa bisa? Coba tanya Naya soal tips and tricks #menjaditemansemuaorang

Pernah pada suatu periode, aku mengalami kemunduran yang sangat dalam hidup. Aku sakit secara fisik dan mental. Aku kehilangan 7 kilo berat badan dalam satu waktu. Banyak, banyak teman-teman di sekelilingku turut membantu pemulihanku. Naya salah satunya yang berjasa besar membantuku pulih dari kondisi yang berat saat itu. Aku mengisolasi diri. Iya gengs, aku yang cerah ceria penuh energi ini pernah menghadapi fase seterpuruk itu. Depresi. Naya, dengan kehangatan hatinya, nyamperin aku ke Pamulang. Lebih dari seminggu nemenin di Pamulang, padahal dia tinggal dan bekerja di Bandung. Rela nemenin aku di sini. Dengerin aku yang tiap sebelum tidur isinya cuman nangis dan sambat. Sampe dia berhasil bawa aku keluar dari kosan, ngajak makan, jajan, dan akhirnya aku pulih. Naya, nuhun banget soal ini, urang mungkin ga pernah bilang, tapi kalo ga ada maneh saat itu, Wina hari ini teuing apa bentukannya. Remeh rangginang cigana. Karena Allah, kirim Naya untuk aku pulih, aku sangat sangat bersyukur untuk itu.

#28 : Tentang Menjadi Teman Baik
#28 : Tentang Menjadi Teman Baik

Cape banget, mirror neuron tiap kali pake baju, tydac perlu janjian niscaya HAH HOH HAH HOH NAHA BAJU KOK SAMA

Nay, aku tau apa yang jadi kekhawatiran kamu hari ini. Aku sangat mengerti. Tapi ini bukan ajakan untuk melupakan kekhawatiran itu. Aku juga ga akan bilang kalo ini mudah, atau ini bukan sesuatu yang harus dipikirin, atau bilang jangan lebay. Engga. Aku ga akan bilang hal-hal semacam itu. Karena aku tau, perasaan-perasaan, rasa takut, kekhawatiran yang tengah kamu hadapi adalah valid. Kamu sangat berhak merasakan kesedihan itu. Gapapa, sedih aja sebanyak yang maneh mau. Marah aja semau yang maneh bisa. Aku seperti biasa ada di sekitar, yang bisa kapan aja bilang “hayuk” tanpa mikir dua kali.

#28 : Tentang Menjadi Teman Baik
#28 : Tentang Menjadi Teman Baik

Semoga kita segera tobat dari FOMO terhadap kehidupan duniawi, dan selalu berusaha untuk urusaan ukhrowi ~~~

Selamat ulang tahun Naya, setiap harinya kita ga akan pernah menjadi orang yang sama. Kita berdua akan selalu berubah, dengan peran baru, dengan tugas dan tujuan baru. Tapi kita berdua sadar itu, bahwa teman kita akan selalu bertumbuh, diri kita juga akan selalu bertumbuh. Yang perlu selalu kita ingat, dan ini aku dapatkan selama aku temenan sama kamu adalah: selalu jadi orang baik, selalu jadi teman baik.

#28 : Tentang Menjadi Teman Baik

Kita hadapi sama-sama periode akhir 20an ini yak Nay, tabungan kita masih banyak nih buat dipake makan enak dan tidur nyenyak. Doa buat Naya akan aku panjatkan dalam privat. Makasih Naya udah mau (terus) jadi temen baikku. Makasih Naya udah ngajarin salah satu value hidup yang akan aku pake terus dalam hidup, dalam berbagai peran yang aku punya; jadi baik.

Pamulang, 27 Juni 2023

Aku sertakan, Hindia, untuk Naya


Tags
1 year ago

Merawat Ingatan

Terhitung sejak 28 Januari 2024, kami sekeluarga menjalani hari-hari yang berat. Ibu, Ibu mertua jatuh sakit dengan kondisi yang cukup serius sampai harus dirawat di Intensive Care Unit (ICU) dan High Care Unit (HCU). Saat ini kondisinya alhamdulillah membaik, menjalani perawatan di rumah bersama anak-anaknya. Semoga kondisi ibu terus membaik dan pulih.

Selama menjalani perawatan, aku melihat betapa kami, keluarga, menepis rasa lelah. Masgo dan adik-adik bergantian menjaga dan menemani ibu siang dan malam. Bagiku pribadi, yang membuat lelah adalah melihat Ibu terbaring sakit dan sendirian di ruangan HCU pun ICU. Memikirkan bagaimana disamping kesakitan yang dialami, Ibu mungkin saja merasa kesepian. Hanya bisa bertemu anaknya yang secara bergantian di jam makan atau besuk saja. Tentu saja, momen ini membawa kembali ingatanku ketika merawat Bapak di ruang isolasi Covid tahun 2021. Beratnya. Sesaknya. Aku rasakan kembali ketika menemani Ibu mertua saat ini. Belum selesai dengan perasaan ini, aku jatuh sakit karena Covid tepat di tengah kami semua sedang menjaga ibu yang masih tergolek di ICU. Isoman ga bisa dihindari. Aku merasa amat sedih karena tidak bisa ikut membantu adik-adik menemani ibu di rumah sakit. Tapi yang lebih sedih, menerima kenyataan bahwa aku ikut merampas waktu suamiku untuk menemani ibunya, karena harus turut isoman denganku saat itu.

Merawat Ingatan
Merawat Ingatan

Di tengah isoman, kami berdua mencoba untuk tetap bisa menemani keluarga meski jarak jauh. Hal-hal kecil yang bisa kami lakukan salah satunya dengan memasak. Memasak jadi salah satu hiburan untukku, mungkin juga suamiku. Untuk mengurangi rasa sesal kami yang mendalam. Kami bisa mengirim makanan ke rumah, supaya adik-adik bisa ikut makan. Karena kerja perawatan, kadang membuat orang lupa untuk makan dan tidur tepat waktu. Meski ketika mengantar masakan, aku hanya bisa saling lambai di depan pagar rumah dengan anggota keluarga yang lain.

Merawat Ingatan

Ada satu momen ketika aku dan Masgo  bertukar pesan via whatsapp. Aku tengah bekerja dan absen untuk menemani ibu di RS. Betapa patah hati menerima pesan dengan nada sedih dari suamiku. Jarang sekali kami membagikan rasa sedih via pesan singkat. Dia patah hati, dan aku juga patah hati.

Untuk Masgo dan adik-adik yang paling aku sayangi; Terima kasih karena selalu ada untuk Ibu. Karena tetap bertahan dan mengambil keputusan-keputusan berani (yang terkadang sulit) dalam mendampingi ibu di kala sakitnya. Lorong-lorong rumah sakit, bunyi mesin dan kabel medis jadi saksi bakti dan cinta kalian untuk Ibu. Insya Allah kita akan sama-sama melewati ini. Segalanya hanya dengan izin Allah SWT.

Allāhumma rabban nāsi, adzhibil ba’sa. Isyfi. Antas syāfi. Lā syāfiya illā anta syifā’an lā yughādiru saqaman.

Ciledug, 16 Februari 2024

3 years ago

Terlampau Krisis

Sebagai manusia pada umumnya, aku merasakan krisis dalam hidup. Entah ini bisa dikatakan sebagai quarter life crisis atau tidak, tapi berada dalam kondisi yang terpuruk, merasa jatuh dan kebingungan dengan arah hidup tentu saja pernah aku alami. Tapi, sebagai orang yang terlahir dari keluarga muslim dan memiliki kesadaran dalam beragama Islam, aku meyakini bahwa serendah apapun kondisi seseorang, selemah apapun ia dalam hidup, seterpuruk apapun hidup seseorang, manusia selalu punya pilihan untuk mengubah nasibnya. Al-Ra’d ayat 11.

Aku selalu terngiang adegan ketika Soe Hok Gie (Nicholas Saputra) berbincang dengan sahabatnya Herman Lantang (Lukman Sardi) yang bertanya tentang untuk apa sebenarnya perlawanan Gie selama ini. Tentang perubahan, jawaban Gie. Aku selalu ingat dialog Gie; 

“Kalau kita hanya menunggu, menerima nasib, kita tidak akan pernah tau kesempatan apa yang sebenarnya kita miliki dalam hidup ini.”

Kalimat ini selalu terngiang dalam kepalaku sejak pertama kali nonton film Gie tahun 2010, nonton dengan kualitas gampar paling rendah saat itu. Lalu Gie menyebutkan lagu Donna Donna - Joan Baez, yang pada intinya Gie ingin bilang apa yang ia dapatkan dari lagu itu; 

bahwa kita tidak boleh menerima nasik buruk dan menganggapnya sebagai jalan hidup yang sudah ditentukan bagi kita, pasrah, jika manusia ingin bebas, kita harus belajar terbang (Gie)

Jika kita membaca referensi lain, Donna Donna adalah lagu ditulis oleh seorang Yahudi dan meneriakkan kondisi kaum Yahudi dalam penderitaannya dalam ancaman NAZI yang dipimpin Hitler. Kita sering membaca sejarah mengerikan dalam peradaban manusia dan kemanusiaan, salah satunya Holocaust. Kaum Yahudi saat itu tidak bisa memilih kenapa terlahir sebagai seorang Yahudi dan menjadi incaran Hitler. Hingga dalam pilu mereka hanya bisa meratapi nasib dan memanggil Tuhan mereka dalam bahasa Ibrani.

Cerita seorang petani, seekor anak sapi, dan burung walet. Penggambaran yang menarik dalam melihat nasib si anak sapi yang akan dibawa ke pasar tengah iri pada walet yang terbang dengan bebas. Tentu saja omelan petani selalu jadi bagian yang menyebalkan buatku;

"Stop complaining, " said the farmer "Who told you a calf to be? Why don't you have wings to fly with Like the swallow so proud and free?"

Akan aku tutup dengan lagu Eross yang paling aku suka, selain semua lagu di Sheila on7. 

Sampaikanlah pada ibuku Aku pulang terlambat waktu 'Ku akan menaklukkan malam Dengan jalan pikiranku Sampaikanlah pada bapakku Aku mencari jalan atas Semua keresahan-keresahan ini Kegelisahan manusia Tak pernah berhenti berjuang Pecahkan teka-teki malam Tak pernah berhenti berjuang Pecahkan teka-teki keadilan

Akan aku telusuri Jalan yang setapak ini Semoga kutemukan jawaban

Gie - Eross & Okta

3 years ago

Hari Disabilitas Internasional 2021

Seperti biasa setelah menyelesaikan tugas kuliah, aku rebahan dan scroll up timeline twitter. Kemudian aku membaca komentar seseorang tentang potongan video yang kurang dari dua menit, menunjukkan seorang menteri sedang meminta, bahkan beliau sendiri mengatakan ‘memaksa’ seorang tuli untuk bicara dihadapan banyak orang. Meski dibalut dengan bahasa yang halus, tentang memaksimalkan mulut sebagai pemberian Tuhan, tetap saja video itu mengganggu saya, terdengar tidak empatik dan menciderai hari Disabilitas Internasional yang menandai pemenuhan hak penyandang disabilitas.

(baca) https://mojok.co/liputan/kilas/mensos-risma-diprotes-karena-paksa-penyandang-tunarungu-bicara/

Tapi ada berita baiknya hari ini, angin seger banget sih setelah terbit Perpres no 68 tahun 2020, Komite Nasional Disabilitas (KND) pertama di Indonesia akhirnya dibentuk. KND akan bekerja dalam pemantauan, evaluasi, advokasi pelaksanaan penghormatan, perlindungan juga pemenuhan hak penyandang disabilitas. Jika kita melihat roadmap layanan kesehatan inklusif disabilitas Kemenkes yang sekarang, apresiasi banget perkembangan di level macro, level kebijakan di pusat. Peta jalan “pelayanan kesehatan untuk semua” ini memiliki 7 strategi utama diantaranya; 

Mengatasi hambatan fisik dan informasi dalam mengakses layanan Menyediakan tenaga kesehatan yang terampil dan peka disabilitas Menyediakan layanan kesehatan yang menyeluruh Meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas Menguatkan mekanisme dan pelembagaan implementasi kerangka kebijakan Meningkatkan anggaran sektor kesehatan di tingkat pusat dan daerah untuk pengembangan layanan inklusif Mendorong kebijakan dan program yang berlandaskan informasi akurat. 

Tentu saja implementasi di level bawahnya yang harus jadi perhatian semua orang. Ga cuman itu sih, pola pikir pejabat tentang disabilitas juga sama pentingnya dengan produk kebijakan apapun untuk ikut diperhatikan. Semoga video viral menteri tadi ga perlu ada lagi, yang tidak sensitif dan tidak empatik.

Lalu pola pikir seperti apa yang harus dikembangkan? Sejauh yang aku pahami, disabilitas adalah konsep yang dinamis, ia terus menerus mengalami perubahan dan perkembangan. Menurutku penting untuk mengenal perkembangan dalam melihat disabilitas. Dahulu, paradigma yang berkembang adalah berdasarkan moral juga pendekatan religious. Disabilitas dianggap sebagai dosa, kutukan, dan sebagainya (anggaplah ini anggapan yang berkembang di zaman kegelapan). Kemudian disabilitas bergerak ke charity model dimana masyarakat melihat orang dengan disabilitas melalui kacamata belaskasihan dan objek amal semata. Lalu perkembangannya bergerak ke paradigma medis atau rehabilitasi. Paradigma ini juga dipengaruhi industrialiasi dan kapitalisme, dimana manusia dipandang sebagai alat produksi, jika ada manusia yang cacat dan tidak produktif maka harus diperbaiki. Perkembangan dunia medis juga membuat kecacatan harus diobati sehingga muncul pusat-pusat rehabilitasi. Hingga saat ini perkembangan mengarah ke rights based model, dimana peralihan cara pandang secara global bahwa disabilitas memiliki kesetaraan hak sebagai manusia. Pola pikir disabilitas sudah berkembang dan meninggalkan cara pandang lama yang melihat disabilitas sebagai objek tetapi subjek, berkembang dari masalah medis menjadi masalah interaksi sosial, dari pendekatan amal ke pemenuhan hak, dari proses yang eksklusif menjadi inklusif.

Kita cukupkan saja romantisasi penyandang disabilitas yang sukses sebagai objek motivasi seolah mereka luar biasa dengan pencapaiannya. Seolah aneh dan jarang mereka bisa berhasil. Justru lihat kembali hambatan lingkungan apa saja, hambatan sikap masyarakat yang mana (ex: stigma dan diskriminasi) yang selama ini telah membatasi mereka untuk berpartisipasi optimal ditengah-tengah masyarakat kita. Berapa banyak orang dengan disabilitas yang tidak bisa berpartisipasi secara optimal di rumah, sekolah, tempat kerja, atau di masyarakat karena hambatan yang datang dari lingkungan, bahkan dari piranti kebijakan, bukan dari keterbatasan mereka?

Selamat Hari Disabilitas Internasional teman-teman

3 years ago

Tips Cuma-cuma

Salah satu sahabatku bilang, semakin dewasa ada salah satu kemampuan yang berkembang hebat, kemampuan mengambil hikmah. 

Untuk sebentar aku tertawa mendengar jawaban dia. Bener banget. Rasanya semakin tua dan dewasa, keterampilan mengambil hikmah semacam cara untuk menenangkan diri dari segala problematika kehidupan yang njelimet. Aku sering melakukan itu. Mungkin dengan terminologi yang sedikit berbeda, refleksi, aku lebih sering menggunakan term ini. Tapi bukan saja soal mengambil hikmah, kemampuan ini sering aku gunakan untuk memvalidasi hal-hal yang terjadi, memahami kembali peristiwa yang telah terjadi, dan mengambil ibrah dengan penuh kesadaran. 

Terus ada satu lagi yang jadi highlight pertemuan mendadak kami. Kami menyepakati bahwa manusia tidak akan pernah 100% cocok dengan partner. akan ada sekian persen ketidakcocokan. Misal, si X memiliki 75% kecocokan dengan si Y, tapi ada 25% hal-hal yang ga cocok. Akan selalu seperti itu meskipun dengan derajat yang mungkin berbeda-beda. Tapi, setelah obrolan yang panjang dan agak serius, kami setuju untuk memandang bahwa jika kita sudah menemukan 75% kecocokan dengan seseorang, maka 25% yang lain adalah kesempatan untuk mencocokan diri. Kami rasa, toleransi terhadap ketidakcocokan itu penting. Tapi, aku ga bisa berhenti sampai disana, semua itu harus dibingkai oleh koridor dan prinsip yang kita punya. Jika menciderai prinsip dan koridor itu, lantang saja dan berani katakan bahwa kita tidak cocok. 

Kami merayakan pertemuan singkat ini dengan memesan takoyaki, merayakan tips cuma-cuma yang kami temukan tanpa sengaja. 

11 months ago

30 dengan Setengah Alis

Hari ini aku kembali pergi lebih awal untuk berangkat kerja. 05.55 udah rapi dan manasin motor karena seperti biasanya 06.00 aku harus berangkat dari rumah menuju stasiun KRL, supaya dapet kereta jadwal 6.22 arah Tanah Abang. Jam segitu keretanya udah penuh, tapi ga penuh-penuh banget. Kurang lebih setahun ini aku memilih naik KRL karena efektif secara waktu. Kalo bawa motor ngabisin sejam sendiri, belum lagi menghadapi macet disana sini. Naik mobil tentu lebih nyaman, tapi tetep ga menghilangkan macet dan musti bayar tol seuprit yang semahal itu. KRL tentu jauh lebih murah dan cepat, tapi ga nyaman. Selain itu, aku lebih suka ketika punya waktu sejam sebelum pegang klien. Bisa ngaso di office sambil sarapan, nonton, baca artikel, scroll sosmed, atau ya gini, nulis.

Biasanya aku berangkat kerja bareng suami, kantor dia lebih deket dari rumah, yang mana bisa masuk kerja agak siang. Tapi dia lebih sering bertoleransi dengan ikut istrinya berangkat pagi. Sesekali dia nganterin penuh sampe kantor, padahal itungannya bulak balik jauh sekali. Untuk itu aku sering diam-diam bersyukur pas dibonceng dibelakang atau duduk disamping dia yang nyetir sambil nyanyiin playlist Scott Bradlee's Postmodern Jukebox; makasih loh Ya Allah.

Tahun ini, kami sama-sama masuk usia 30 tahun. Anjay 30 bro. Kepala tiga ini sungguh tidak terasa. Pagi itu aku bagun seperti biasanya, agak tickled pink mengingat hari itu aku jadi teteh-teteh umur 30. Lama aku memandangi laki-laki disampingku yang masih merem tapi udah goyang-goyang kaki, tanda dia udah bangun juga. Aku kasih pelukan dan kecupan pertamaku yang juga penuh syukur, makasih ya Allah ternyata aku akan menghabiskan seluruh umurku dengan orang ini.

Aku bangkit dari kasur menuju ke rutinitas pertama, minum air putih dan nimbang berat badan di timbangan digital. Aku bukan tipikal orang yang diet ketat, tapi cukup aware dengan kondisi tubuh. Ketika angka-angka menyembul dari balik layar timbangan, aku juga berterimakasih pada tubuh ini; yang berat badannya gampang turun dan susah naik, masa tulangnya selalu rendah dan lemak di subkutan yang selalu tinggi, juga indeks lain yang hampir selalu ideal. Makasih yang badan, kamu kuat sekali. Tentu saja aku akan bertanggung jawab menjaga kamu untuk jadi lebih sehat dan bugar tiap harinya.

Lalu, saat suamiku yang hilang dari kasur dan terdengar menyalakan kompor di dapur, kupikir dia mulai menyiapkan bekal, ternyata dia kembali naik ke kamar dengan cake di tangan. Skip banget ini orang naro cakenya kapan dan dimana. Meski sepertinya aku meniup lilin dan berdoa, dengan sebelah alis yang belum selesai diukir, aku mensyukuri momen kecil kami ini. Selamat Ulang Tahun Wina.

2 years ago

Sore Izakaya dan Caranya Membuatku Kembali

Aku bukan orang yang biasa review makanan. Buka apa-apa, seringnya aku lupa apa yang udah masuk ke perutku. Tapi berbeda dengan Sore Izakaya. Pertama kali aku datang ke restoran Jepang ini di Sore BSD. Waktu itu kami datang di jam makan malam. Pendar lampion di luar ruangan serta pemandangan bapak tukang jahit yang masih menjahit di sebrang tempat kami duduk membuat suasana jauh lebih baik. Menu pertama yang aku cicipi adalah Creamy Ramen. Visualnya yang bikin ngiler di buku menu jadi alasan utama aku menjatuhkan pilihan ke Creamy Ramen. Entah mungkin ditambah rekomendasi mas pacar yang duduk di sampingku, aku ndak ingat betul. Belakangan baru aku tau kalau Creamy Ramen memang mendapatkan ulasan yang cukup bagus di kalangan konsumen. Aku juga nyicip Mentai Beef Cheese! Wenak Puwoll! Sama Udon juga kalo ga salah.

image

Sore Izakaya mengingatkanku pada series kecintaanku, Midnight Diner. Bagaimana pun, melihat makanan Jepang disajikan selalu membuatku ingin makan lebih banyak. Membayangkan potongan ayam, telur setengah matang (bagian terbaik), irisan daun bawang dan nori yang berenang di atas kuah keju, visual dan rasanya terus nempel di kepala. Bahkan ketika aku kepusingan memikirkan financial plan lima hingga sepuluh tahun kedepan sebagai bagian konsekuensi jadi dewasa.

Kesempatan ke dua datang di jam makan siang, aku memutuskan untuk kembali ke Sore setelah secara tidak sengaja melihat iklan ramen di mobil box yang melaju menuju Jakarta. Engga lebih dari dua menit (mungkin), kami memutuskan untuk lunch di Sore Fatmawati. Kali ini lebih kosong dari biasanya. Dan harus aku akui, aku suka sekali toiletnya. Bersih, wangi, sederhana, dan sangat Jepang. Di kesempatan ke dua aku masih memesan Creamy Ramen, sambil mencicipi Kawa Yakitori sama Chicken Katsu Don (sesungguhnya aku ga ingat semua yang kupesan). Kali ini obrolan kami didominasi topik seputar pemilu 2024 serta riuh hiruk pikuk menjelang 2024. Mas Pacar dan salah satu sahabatku hari itu memang kombinasi terbaik untuk temen makan siang.

image

Kesempatan ke tiga sesungguhnya agak konyol. Setelah lebih dari satu tahun tinggal di Pamulang, aku baru tau kalau Sore punya cabang di Pasar Kita Pamulang! Cuman 9 menit naik motor dari kosan! Sungguh kebodohan yang aku syukuri. Kali ini kami datang di jam makan malam yang tenang. Aku ganti menu jadi Spicy Ramen, dan udah bisa ketebak, aku juga suka! Maksudku, sesuai dengan lidahku yang lokal ini. Dan Tentu saja, Creamy Ramen tetap masuk pesanan.

image

Salah satu icon yang sangat aku suka dari Sore adalah tirainya! Hahaha. Sungkem buat manusia yang design tirai di pintu masuk Sore. Cantik banget anjay. Ngingetin aku sama Midnight Diner, Izakaya Bottakuri dan The Way of the Househusband, tiga list terfavoritku di Netfix. 

Sore Izakaya Dan Caranya Membuatku Kembali

Pict: bintaroandbeyond.com

Dari ketiga kesempatan aku mengisi perut di Sore, aku selalu menikmati bagian Miki Matsubara menyanyikan Stay with Me.

Bagiku, makan adalah makan. Proses mengisi perut yang lapar jadi (cukup) kenyang. Proses tubuh Kembali mendapat energi. Ada atau tanpa ada temen makan, dia tetap makan. Tapi, ketika aku menemukan temen makan berikut tempat makan yang enak. Bagiku, makan menjadi teramat penting dan spesial. Sebagaimana meja makan di tengah keluarga. Meja makan di hadapan sepasang kekasih. Meja makan di antara konco dan teman sejawat. Mereka selalu menghadirkan kehangatan atau bahkan sesekali ketegangan. Bagiku, makan di Sore Izakaya selalu membuatku ingin kembali.


Tags

43 posts

Explore Tumblr Blog
Search Through Tumblr Tags